Thursday, December 17, 2009

Menghitung Hari Detik Demi Detik (Renungan Lagi)


Menghitung Hari, Detik Demi Detik
(renungan lagi)

Merupakan sebuah keharusan bagi kita jika ingin meningkatkan kualitas hidup secara spiritual untuk melahirkan keshalehan sosial dengan senantiasa melakukan perhitungan terhadap diri. Menghitung hari, detik demi detik. Berhitung dalam arti melakukan koreksi terhadap perbuatan diri atau dalam bahasa popolernya Muhasabah.

Dalam catatan sejarah Islam misalnya, kita bisa melihat ungkapan dua orang sahabat Nabi tercinta, Umar dan Abu Bakar ash-shiddiq. Khalifah umar pernah berkata, “hasibu qobla an tuhasabu”, “hisablah dirimu sebelum kau dihisab”. Koreksi dirimu sebelum dikoreksi oleh Sang Maha Pengoreksi. Sebuah wanti-wantu agar kita sadar dan tidak termasuk dalam golongan manusia yang melihat tapi buta, seperti kata pribahasa populer yang pernah dinyanyikan oleh Bang Haji Oma Irama, “semut yang diseberang lautan jelas kelihatan, tapi gajah di pelupuk mata tiada kelihatan.” Sungguh keterlaluan, luar biasa kebodohan diri ini, semoga Allah menjauhkannya dari diri kita..

Dalam pidato kenegaraannya Abu Bakar ash-shiddiq ketika dilantik menjadi seorang khalifah, pernah mengucapkan untaian kalimat yang sangat indah dan penuh makna, ia berkata;“wahai manusia, aku telah diangkat menjadi pemimpinmu tapi aku bukanlah orang yang terbaik diantara kamu”. Sebuah kecerdasan dan kejujuran spiritual yang luar biasa, tentu ini lahir dari kesadaran diri, sehingga kebesaran yang disandangnya tak membuat dirinya merasa besar, kekuasaannya tak membuat dirinya menjadi penguasa. Kebesaran dan kekuasaan tak membuat mereka buta, sehingga amanah yang ada dipundaknya dijadikan legalitas untuk menzhalimi rakyat serta memperkaya diri sendiri, keluarga, kelompok, golongan atau partainya. Inilah yang terjadi hampir disemua sisi kehidupan para penguasa (bukan pemimpin) dan pejabat negeri.

Sebagai manusia apa daya dan kekuatan kita? Adakah materi dunia yang kita miliki saat ini mampu membahagiakan diri kita pada hidup yang sebenarnya nanti? Tapi sayang nafsu serakah terkadang menutupi kesadaran kita. Sehingga kita lupa, lalai. Ketika lupa/lalai menutupi secara permanen kesadaran spirtual, maka sengsaralah hidup ini, kini dan yang akan datang, naudzu billahi min dzalik. Hal ini terangkum dalam peringatan-Nya, ”khatamallaahu ’alaa quluubihim wa’alaa sam’ihim wa’alaa abbshaarihim, ghisyaawatun walahum a’dzaabun ’azhiim.” (QS. Al-baqarah (2): 7)

Maka menghitung hari, detik demi detik, dalam arti mengkoreksi diri, bermuhasabah, tujuannya adalah melihat borok-borok diri, diikuti dengan langkah-langkah pengobatan sampai borok-borok itu dapat disembuhkan. Sehingga diri ini tidak termasuk dalam golongan yang ”fii quluubihim maradhun fazaadahumullaahu maradhaa, walahum ’adzaabun aliimun bimaa kaanu yakdziibuun” (QS. Al-baqarah (2): 10) akan tetapi termasuk dalam golongan, qad aflahal mu’minuun ... (baca sampai ayat 11).”, sehingga diri kita menjadi bagian orang-orang yang diundang oleh-Nya, ”yaa ayyatuhannafsul muthmainnah irji’ii ilaa rabbiki raadhiyatammardiyyah, fadhkhulii fii ibaadii wadhkhulii jannatii, (al-Fajr (89); 27, 28, 29, 30) subhanallah, sungguh indah luar dan biasa, menjadi tamu kehormatan-Nya. Mau? Mari menghitung hari (diri). Hanya bisa jika ada kesadaran diri. Wallaahu a’lam.

Wednesday, December 2, 2009

Takut Kepada Allah


Takut Kepada Allah

Mungkin kita sering mengucapkan kalimat seperti judul di atas. Lalu apa pemahaman kita tentang maksud kalimat yang kita ucapkan itu? Takut seperti apa? Apakah seperti ketakutan melihat hantu, takut seperti orang yang sedang dikerjar kejar debt collector, khawatir, stress, depresi, takut disadap KPK karena perasaan bersalah telah melakukan korupsi? Atau takut seperti orang yang sedang berhadapan dengan anjing galak? atau takut mati?

Kata takut dalam kamus besar bahasa indonesia edisi online di katakan: ta•kut a 1 merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yg dianggap akan mendatangkan bencana: anjing ini jinak, engkau tidak perlu --; 2 takwa; segan dan hormat: hendaklah kita -- kpd Allah; 3 tidak berani (berbuat, menempuh, menderita, dsb): hari sudah malam, aku -- pulang sendiri; 4 gelisah; khawatir (kalau ...): ...”

Dari keempat arti kata yang terdapat dalam kamus tersebut hanya satu yang wakili, yaitu takut dalam pengertian takwa. Kata yang lebih mendekati tepat dari pengertian takwa adalah tunduk, patuh dan taat dengan dasar nalar, kesadaran, pengenalan dan cinta, bukan karena paksaan atau ketidak berdayaan. Takut dalam arti takwa akan melahirkan sebuah sikap/perilaku yang selaras, harmonis, ikhlas, dan rasa nyaman yang muncul secara otomaits inilah akhlakul karimah.

Jika kita merasakan rasa bahasanya, kata takut itu berhubungan dengan perasaan. Jika perasaan itu dasarnya adalah keinginan/hasrat, maka gambarannya seperti berada ditengah kebun/taman bunga di atas bukit yang berudara sejuk lagi segar. Hal seperti ini yang hadir dalam diri adalah kenikmatan dan kesenangan. Sebaliknya takut dasarnya adalah kekhawatiran, kecemasan, maka gambarannya seperti berada pada sebuah tebing yang curam dengan ketinggian 1000 meter di bawahnya terdapat sungai yang dangkal serta dihuni oleh buaya-buaya lapar dan liar. Tapi jika kenikmatan dan kesenangan yang kita rasakan tidak dibarengi oleh kesadaran, nalar dan pengenalan yang berujung cinta akan keterbatasan kenikmatan tersebut saat ini (di dunia), maka yang ada adalah ketakutan dan kekhawatiran akan kehilangan apa yang sedang dirasakannya saat itu. Maka ini tak ubahnya sebagaimana hal yang sebaliknya, yang akan berakhir dengan penderitaan, karena kekhawatiran dan ketakutan.

Jadi agar yang kita dapatkan dari rasa takut adalah kebahagiaan, maka takut itu harus didasari oleh kesadaran, nalar dan pengenalan yang berujung cinta. Maka ungkapan kata takut kepada Allah maksudnya adalah cinta kepada-Nya. Sebuah ketundukan, kepatuhan dan ketaatan yang hadir karena kesadaran, nalar dan pengenalan akan eksistensi-Nya. Wallaahu a’lam.

Monday, November 9, 2009

Cicak versus Buaya dan Si Kancil dan Buaya


Cicak Versus Buaya serta Si kancil dan Buaya
Sebuah Simbol Negeri Simbol

Istilah ini menjadi sangat populer akhir-akhir ini, kepopulerannya tentu saja akibat peran media massa yang gencar memberitakannya. Bebrapa terbitan Koran tempo yang saya baca misalnya (maaf bukan promosi), akhir-akhir ini semakin gencar mengungkap kebenaran cerita Cicak versus buaya. Ungkapan populer dari seorang perwira tinggi polisi di negeri ini (walau sudah diklarifikasi oleh petinggi yang lainnya disertai permohonan maaf, dan meminta tak menggunakan lagi istilah ini). Entah apa yang mendasarinya, tapi jika kita mau berfikir ungkapan ini mewakili realita dari dua institusi yang kini sedang ramai diliput media dan menjadi perbincangan banyak orang, Polisi plus Kejaksaan Agung versus KPK, buaya versus cicak.

Cicak untuk KPK dan Buaya untuk Polisi. Cicak dan Buaya menggambarkan dua symbol kelemahan karena kecil dan kekuatan karena besar. Dalam dunia fauna cicak hidup dan makanannya serangga-seranggga kecil. Tak ada yang takut padanya karena bentuknya yang kecil, walau ada yang jijik dan sebel karena bentuk atau suaranya yang sepertinya meledek, cek...cek…cek. Ia tinggal di darat (kering, ingat kering). Ia tidak mengganggu manusia atau merugikannya secara langsung, sampai saat ini tak ada berita yang menyatakan orang mati karena serangan dan gigitannya. Jika sang Komisaris Jenderal mengungkap KPK dengan symbol cicak, inilah kenyataannya. Kita bisa memahami apa maksudnya.

Lalu bagaimana dengan buaya? Ia dikenal dan digolongkan sebagai sosok binatang buas, dari tatapan mata dan gigi taringnya menunjukan ia tergolong makhluk pemakan daging. Ia tinggal di air (basah, ingat basah), menggangu manusia? Tentu saja, saat dia lapar atau ada orang yang ”memasuki habitanya”, air, sungai atau muara, bahkan laut. Kata buaya dalam istilah bahasa Indonesia mempunyai konotasi negatif, merugikan satu golongan manusia dengan tipu daya, misalnya lelaki buaya atau buaya darat. Jika sang Komisaris Jenderal mengungkap institusinya dengan symbol buaya, ini juga bisa jadi kenyataannya dan kita bisa memahami apa maksudnya.

Namun jika kita simak kehidupan keduanya dalam dunia fauna, alangkah tepatnya kata-kata sang Komisaris Jenderal itu. Itulah institusi kepolisian negeri ini, senang atau tidak, suka atau marah, bak sarang buaya. Jika mangsa masuk dalam areanya, kecil kemungkinan akan selamat, kecuali jika sang mangsa ”cerdas”, mungkin bisa selamat dari gigitannya. Masih ingat cerita pengantar tidur dari buku bacaan yang setia menemani saat kita duduk di sekolah dasar? si Kancil dan buaya. Si kancil, binatang kecil yang ingin menyeberang sungai, tapi apa daya sungai dipenuhi oleh buaya-buaya yang lapar. Tapi berkat kecerdikannya, sang kancil selamat, ia berhasil memperdaya ratusan buaya. Fenomena dalam cerita si kancil dan buayapun bisa menjadi cermin atau gambaran real kondisi satu institusi penegakan hukum negeri in.

Kini setelah pimpinan ”cicak” yang tersisa masuk dalam jeratan ”buaya” dan konco-konconya, saat warisan-warisan kebusukan orde baru mulai terungkap, dengan alasan yang sangat tidak masuk akal dan berubah ubah berbau dominasi arogansi dan kekuasaan. Tapi kini masalah menguak, semua orang terhenyak menyaksikan sandiwara yang mempertontonkan kebodohan para sebagian kecil pejabat yang takut reputasinya melorot. Peran besar media masa patutlah diacungi jempol. Menyaksikan sandiwara ini penulis teringat pepatah lama yang mengatakan "sepanda-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga”, atau ”serapat-rapatnya bangkai disimpan, baunya tercium juga”.

Alhamdulillah, dukungan deras mengalir dari segenap penjuru mulai mantan presiden sampai rakyat jelata, entah dengan hati ikhlas demi membela kebenaran atau dengan embel-embel dibelakangnya, yang pasti korupsi yang telah mendarah daging di negeri ini, bangkai peninggalan kebusukan ”orde baru dan antek anteknya” telah menjadi virus mematikan dan menyebarkan penderitaan rakyat seakan tak berujung pangkal, semua disebabkan mandulnya ”pisau-pisau” dari unsur-unsur penegakan hukum negeri ini. Siapa kuat dia selamat, karena keserakahan hukumpun tergadai. Semoga kejadian ”cicak versus buaya” ini semakin membuka mata hati seluruh rakyat Indonesia yang telah lama merindukan negeri yang damai dan sejaktera.

Tulisan ini merupakan bentuk dukungan untuk Pembebasan Kebenaran dari Belenggu Kezhaliman. Tulisan ini sebagai bentuk dukungan untuk Indonesia Bersih dan Rakyat Sejahtera, tanpa korupsi dengan berbagai macam bentuknya, kecil atau besar, korupsi adalah bahaya laten, jahat dan membahayakan, Allaahu Akbar!!!.

Tuesday, November 3, 2009

Uang dan Pengaruhnya


(gambar: treest.wordpress.com/2009/03/18/uang-bahagia)

Uang dan Pengaruhnya

Dahsyat! Sambil mengeleng-gelengkan kepada, luar biasa!, begitulah kira-kira ungkapan ketika kita mau memikirkannya, astagfirullah, begitulah ketika kita menyaksikan fenomena yang tak tersadari dari sebuah kata yang hanya terdiri dari 4 huruf satu bunyi, Uang. Siapa mau?

Karenanya ada lagu yang tercipta. karenanya peradaban manusia semakin berkembang. Karenanya pula konflik tercipta dan kehancuran melanda. Orang menjadi senang jika memilikinya, juga ada gila karena tak sepeserpun hadir dikantongnya. Bunuh diri karena kebanyakan atau kekurangnya kerap kita lihat dan dengar dari berita. Bernilai positif dan negatif, bagai dua sisi mata uang sebagaimana ia dicipta.

Sebuah potongan syair lagu yang pernah top di tahun 80an misalnya, ”...uang bisa bikin senang tiada kepalang uang bikin mabuk tiada kepayang, lupa sahabat, lupa kerabat, saudara, mungkin juga lupa ingatan...”. atau sang raja dangdutpun dalam syairnya pernah mengungkap, ”semua orang mencarinya, dimana rupiah berada walaupun harus nyawa sebagai taruhannya banyak orang yang rela cuma karena rupiah. Tiada orang yang tak suka dengan yang bernama rupiah ...”. begitu kira-kira, tologn dibenarkan jika salah mengutip.

Dari potongan-potongan syair tersebut nampak kepada kita realita dari dahsyatnya pengaruh uang pada kehidupan. Begitu mempesonanya uang sehingga membuat diri lupa daratan. Penghargaan yang berlebihan atasnya telah membuat banyak manusia menderita. Penderitaan yang dibuat oleh kebodohan karena pendewaan. Ikatan keluarga, pernihakan, saudara, terpecah karena (uang) warisan, putus sahabat bisa karena uang, bahkan peperangan antar negara bisa terjadi karenanya, uang telah menjadi tuhan.

Apa yang kau cari? Pergi pagi pulang petang. Menguras pikiran dan tenaga serta banting tulang. Siang menjadi malam, malam menjadi siang, ada yang rela menjual diri bahkan kehormatan, tak lain untuk mendapatkan uang. Lalu setelah kita dapatkan, untuk apa? Tak lain dan tak bukan untuk menghilangkan dan memenuhi kebutuhan. Cukup? Selama masih menjadi manusia tak ada kata cukup, kurang? Pastinya, selama dunia materi masih mengikat dan mendominasi.

Hal ini dapat kita saksikan dari fenomena kemaksiatan di negeri ini, ada korupsi, kolus yang semakin marak di negeri ini. Demi uang, ada yang telanjang dan mengatas namakan seni, menghabur-hamburkan uang demi mendapatkan kepuasan sesaat, terjerat dalam lingkaran setan karena judi dan prostitusi, mereka bukan tidak punya uang, mereka banyak uang. Kalau menderita karena tak punya uang boleh dikata wajar, tapi jika sengsara akibat kebanyakan uang, tentu ada sesuatu dibalik itu.

Uraian tersebut seakan menyatakan dalam hidup tak ada aktivitas yang luput dari uang. Dari amal ibadah dan yang bernilai ibadah hingga maksiat yang paling hina sekalipun, peran uang tak bisa dipandang sebelah mata. Misalnya ada diantara kita yang ingin beribadah, tapi dalam prosesnya ada unsur maksiat di dalamnya. Misalnya, seseorang yang ingin menunaikan ibadah haji, kuota terbatas, tapi berkat uang ia bisa mendapatkan peluang melaksanakannya. Dan karena uang juga penyelenggara ibadah haji mempermainkan hamba Tuhan. Fenomena semacam ini membenarkan pepatah yang sangat menyedihkan, ”dengan uang semua lancar bersama uang urusan selesai”, innalillaahi wa inna ilaihi raajiuun.

Inilah kehidupan manusia, dan kita semua ada dalamnya. Kini kita sedang memegang peranan dan dalam peran itu uang menjadi bagian yang tak terpisahkan. Mampukah kita mengendalikan uang, atau malah dikendalikannya? Jika kita mampu mengendalikan uang, insya Allah kebahagiaan akan menyapa, tapi jika sebaliknya penderitaan segera hadir di depan mata, nauudzubillaahi min dzalik. Semoga tulisan bisa menjadi perenungan diri untuk menjadi yang terbaik dalam pandangan-Nya, amiin.

Monday, November 2, 2009

Ketika Ustadz/Kiyai Menjadi Poli tikus dan Selebritis

Ketika Ustadz/Kiyai Menjadi Poli tikus dan Selebritis

Entah, sebenarnya mereka sadar atau tidak akan peran mereka sebagai model ditengah ”kejahilan” ummat sangant berpengaruh ketika media massa (TV) memaparkan akhlak mereka sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Ketika kecacatannya diperlihatkan media, umatpun menjadi bimbang, bingung karena tokoh yang mereka puji-puji selama ini, menjadi bahan menjadi ejekan mereka-mereka yang memang tidak menyukainya sejak awal ketenarannya dengan berbagai alasan tentunya.

Ustadz/Kiyai Berpolitik
Kita bisa lihat beberapa diantara mereka yang mencoba lahan yang satu ini, entah apa yang melandasinya, mungkin saja kemuliaan agama yang diusungnya, tapi bagaimana realitannya. Politik dikenal kotor, licik dan penuh intrik, sehingga ada pendapat yang mengatakan kalau anda ingin menjadi orang baik jauhilah dunia politik, meski penulis sendiri masih kurang sependapat. Ustadz/kiayi berpolitik, selama terpatri kuat dalam dirinya untuk berdakwah, menjadi penyejuk dan pewarna dominan dalam komunitas tersebut sehingga bisa merubah image komunitas ini, bisa menjadi sebuah keharusan. Tapi apa daya ustadz/kiyai juga manusia. Pernak pernik dan tipuan-tipuan halus yang samar menyeret sang ustadz/kiyai dalam kotornya permainan. Berapa puluh orang kiya/ustadz yang ada diparlemen negeri ini? Lalu bagaimana pandangan kebanyakan rakyat Indonesia terhadap media ini? Pudarlah imagenya, ummatpun dibuat terombang ambing dalam ketidak pastian. Sungguh ironis. inikah warisan para nabi?

Ustadz/Kiyai Bak Selebritis
Jika kita mengamati seluk beluk ustadz/kiyai yang sadar atau tidak telah menjerumuskan diri dalam dunia selebritis, ketika media massa, televisi tumbuh bak jamur dimusim hujan boleh dikata sejaka era 90 an lah dan munculnya dai-dai yang menjadi seleb mulai merebak kira-kira tahun 2000anlah. Untuk mendobrak rating beberapa stasiun televisi menggelar acara pemilihan dai-dai bak idol-idolan versi Indonesia. Terlebih saat-saat ramadhan, terlihat sekali persaingan ketat antar stasiun televisi untuk menampilkan ustadz/kyiai yang ”populer” dengan predikat masing-masing, ada ustadz gaul, ustadz cinta, diantara merekapun ada yang menjadi iklan komersil produck-produk konsumtif, ketenaran dan popularitas yang menghapus idealitas. Walau kita juga bisa menyimak tayangan media tv ustadz/kiyai betulan yang memang secara tampil dengan pola academis bukan hiburan.

Demikian halnya bukanlah sesuatu yang terlarang jika ustadz/kiyai masuk dalam dunia selebritis, sekedar mewarnai dengan nilai-nilai Islami. Merubah gemerlap dunia ini menjadi lebih beradab. Tapi apa daya, sekali lagi ustadz/kiyai juga manusia, pernak pernik dan tipuan-tipuan halus lagi samar menyeret sang ustadz/kiyai dalam buayan gemerlap permainan. Pudarlah imagenya, ummatpun dibuat terombang ambing dalam ketidak pastian. Sungguh ironis.

Ustadz/kiayi dalam pandangan masyarakat umum adalah tokoh yang ”suci”, padahal ia bukan ”nabi”, ia manusia biasa yang memang diberikan ”kelebihan” khusus atau karena memang kebetulan saja karena media telah mengangkatnya naik bak selebritis yang ”dipuja”, sehingga ’tarifnyapun mahal tak terjangkau kalangan yang terpinggirkan dari sisi ekonomi. Ketenaran telah membuat mereka lupa akan tugas sucinya sebagai warisan para Nabi. Nilai dakwah yang luhur dan non komersil setelah tenar menjadi komersil, mereka-mereka yang berduit berlomba memintanya menjadi ”penghibur” rasa haus akan nilai-nilai islam. Yang paling menyedihkan dikampung-kampung terpencil penduduk mengumpulkan patungan mengumpulkan uang, demi menghadirkan ustadz/kiyai yang menjadi idola dan pujaan, menyedihkan, inikah warisan para nabi?

Kesimpulan ada pada diri kita masing-masing, mudah-mudahan pesan ini tersampaikan pada kita semua yang sedang berperan dalam dakwah Islam, muliakan Islam bukan mempermalukan, tinggikan Islam bukan merendahkan. Terkadang kita tidak sadar bermaksud memuliakan malah mempermalukan, bermaksud meningikan malah merendahkan. Islam adalah zat pewarna, ia dapat mewarnai jika dituliskan padanya, tetapi tidak semua bahan dapat diwarnai olehnya, tergantung dari bahan apa media itu dibuat. Setelah kita terwarnai dapatkah warna itu mewarnai yang lain? By the way kita ini termasuk bahan yang dapat diwarnai atau tidak? Wallaahu a’lam

Tuesday, October 27, 2009

Agama dan Politik

Agama dan Politik;
Sekedar celoteh iseng-isengan

Agama dan Politik
Agama dan politik merupakan satu hal yang berbeda jika dilihat dari sisi definisi. Tapi agama dan politik bisa bagai dua sisi mata uang, bersatu tapi tidak bertemu. Agama mengajarkan keshalehan pribadi dan sosial, sedang politik hingga saat ini dan dalam realitasnya mengajarkan siasat, strategi, lobi, yang berinti pada kekuasaan. Ketika orang telah berbicara kekuasaan, dominasi mayoritasnya adalah nafsu serakah, keinginan untuk berkuasa. Jika hal ini yang terjadi maka kesalehan pribadi dan sosial akan terpinggirkan, demi kekuasaan, bukankah ini yang terjadi di dunia ini? Dalam politik kita mengenal kiasan yang aneh tapi nyata, ”tidak ada kawan abadi yang ada adalah kepentingan abadi”. Jika berbicara kepentingan ini juga berkait erat dengan kekuasaan. Demi kekuasaan lawan bisa jadi kawan

Politik Agama
Politik agama, saya memahami politik agama sebagai usaha memasukan nilai-nilai agama dalam kehidupan berpolitik. Orang yang berpolitik dengan agama tujuannya bukan kekuasaan tetapi untuk memperjuangkan kesejahteraan hidup konstituennya, yaitu ”rakyat”, golongan manusia yang paling tersingkir hidupnya dalam perang para politisi untuk kekuasaan. Memasukan nilai-nilai agama dalam perpolitikan dinegara ini mungkin pernah ada (pada jaman dahulu) sekaligus dicontohkan oleh politisi yang beragama. Tapi Politik agama akan sangat memiliki arti yang sangat mengerikan jika agama dijadikan object politik/ politisasi agama. Ketika term-tem agama dijual hanya untuk mendapatkan dukungan kekuasaaan maka hilanglah ruh keagamaan itu sendiri yang pada intinya mengajarkan manusia pada keshalehan sosial dan ritual. Sebelum berkuasa panji-panji agama senantiasa berkumandang dari bibirnya, tetapi setelah mendapatkan kuasa, tak sedikitpun nilai-nilai agama merasuk dalam dirinya, malah tingkah laku korup yang akhirnya menjerat dirinya dalam tudingan hukum sosial.

Agama Politik
Sedang agama politik, bagai satu keping mata uang, walau satu tapi tak bisa bertemu. Walau tak bertemu tetapi bisa mempunyai hubungan dan keterikatan yang erat satu sama lain. Misalnya orang yang mendewa-dewakan politik sebagai jalan hidup dan pemikirannya, bisa dikatakan orang tersebut telah menjadikan politik sebagai agamanya dan kekuasaan menjadi Tuhannya. Hal ini sesuai dengan pengertian agama secara umum yang berarti pegangan hidup, aturan, ajaran, ketaatan dan lain-lain.

Demikianlah celoteh singkat, mudah-mudahan ada manfaatnya. Wallaahu a’lam

Tuesday, October 20, 2009

Pengemis itu Malas, Benarkah? Lanjutan


(gambarhttp://www.pasarkreasi.com/dirmember/00001/doermogati/content/content-1796-20081112-6-34-86/small/mengemis_1796_s.jpg)

Pengemis itu Malas, Benarkah?
(Lanjutan)

Dari tulisan terdahulu sebenarnya saya hanya ingin mempertanyakan apakah tepat kata malas dilabelkan pada para pengemis? karena jika kita lihat kamus bahasa indonesia malas diartikan dengan tidak mau bekerja atau melakukan sesuatu, jika kita lihat kenyataan pengemis itu bekerja dan melakukan sesuatu, lalu dimana malasnya? Coba kita pikirkan lagi. (lihat juga ”mengemis haram”, di http://aagun2010.multiply.com/journal/item/129

Pengemis
Jika kita lihat dari sudut bahasa yang dimaksud dengan mengemis adalah meminta minta. Secara umum dapat kita pahami setiap peminta-minta adalah pengemis. Tapi tentu saja jika kita pahami seperti ini banyak orang akan menolaknya mentah-mentah. Tetapi jika kita khususnya pengertiannya pengemis adalah orang yang meminta-minta, biasanya dengan menampilkan sosok khusus yang telah menjadi brand image/trade mark mereka dengan tujuan mengambil hati, menggugah orang agar memberikan sesuatu/uang kepada mereka. Mengemis dalam agama yang saya pahami bukanlah perbuatan yang mulia, tidak juga hina, kecuali mereka-mereka yang memang sengaja menjadikannya sebagai profesi untuk meraup kekayaan, jelas ini perbuatan yang sangat hina.

Macam-macam Pengemis
Mengapa mengemis? Mengemis bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, cacat fisik atau mental (rendahnya harga diri). Dan yang menjadi faktor dominan adalah mental yang berhubungan dengan harga diri. Sebab banyak orang yang miskin lagi cacat fisiknya tetapi karena mentalnya kuat/memiliki harga diri, mereka tak mau menjadi pengemis. Kini sebagaimana telah kita ketahui bersama mengemis sudah dijadikan profesi, pekerjaan untuk menghidupi bahkan memperkaya diri. Selain itu faktor pemicu lainnya adalah tingginya rasa berbagi dan belas kasih sebagian besar masyarakat Indonesia, karena didorong faktor keyakinan/agama, ini merupakan lahan subur bagi tumbuh kembang dan beranak-pinaknya para pengemis. Rendahnya kesadaran berbagi untuk meningkatkan kualitas jati diri sebagai hamba Allah yang mulia bisa juga menjadi faktor penyebab pemiskinan diri ini.

Dari pernyataan tersebut kita dapat kita mengklasifikasikan sebagai berikut; pertama; pengemis permanen penyebabnya adalah faktor mental, mengemis dijadikannya sebagai mata pencaharian, pengemis musiman terjadi karena faktor musibah/bencana alam ini disebabkan tidak adanya ketrampilan lain yang memadai dan ini terjadi di negeri ini saat kemarau panjang tiba melanda beberapa daerah pertanian, ke tiga; pengemis yang memang saat itu dia membutuhkan bantuan (terpaksa).

Apa Yang Telah Kita lakukan?
Tulisan ini tak bermakna dan berakibat apa-apa jika kita hanya mendiskusikannya, langkah minimal yang harus kita lakukan adalah tidak sekedar memberi untuk memutus jaringan atau berilah secara selectif mereka-mereka yang benar-benar membutuhkan, memang sulit untuk memilah dan menahan iba terhadap penderitaan yang mereka tampakan, tapi mau tidak mau hal ini kita harus lakukan untuk memberi pendidikan kepada mereka. Tak bermaksud melarang untuk berbagi karena berbagi merupakan bagian integral dari ajaran yang saya yakini dan itu adalah hak bagi setiap mereka yang mampu berdasarkan ajaran agama yang saya pahami, tetapi memberilah untuk meningkatkan kualitas ummat.

Anehnya ketika ada ”tetangga” sebelah kita yang mau berbaik hati, berbagi, membantu makan dan pendidikan mereka, sehingga ada diantara mereka yang tertarik dengan kebaikannya dan mau mengikuti keyakinannya, munculah reaksi keras penolakan dan permusuhan, tuduhan, cacian, makian bahkan sikap-sikap permusuhanpun dikobarkan dengan lontaran semangat ”Allaahu Akbar”, pada saat ceramah, diskusi, tabligh akbar dan lain-lain, aneh? sungguh sebuah ini sebuah pembodohan yang amat nyata. Marilah introspeksi diri.

Peran Pemerintah dan Ulama
Pemerintah dan para anggota yang terhormat sesuai dengan amanah pancasila dan UUD ’45 wajib memberikan pendidikan dan perlindungan kepada kaum lemah, miskin (dhuafa’) dan kita wajib memberikan dorongan agar mereka mau konsisten menjalankan pancasila dan UUD ’45. Peran kaum agamawan/ulama (kyai, ustadz/zah) jangan hanya menyapaikan ceramah/dakwah dan bertarif mahal, sehingga tak menjangkau level dhuafa, atau dzikr diadakan secara akbar dengan biaya yang tidak sedikit tentunya, sedang kemiskinan, kebodohan dan pembodohan umat yang semakin jelas dihadapan mata, lihatlah demo/ekspoitasi kemiskinan pada saat pembagian zakat yang menimbulkan banyak korban, sungguh menyedihkan, ironis dan memprihatinkan.

Saya yakin masih ada (walau hanya sedikit) teman/sahabat atau para kyiai, ustadz/zah yang sadar dan tahu akar dari permasalahan ini sehingga berperan aktif ditengah masyarakat miskin/dhu’afa, berusaha sedikit untuk mengentaskan kebodohan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menumbuhkan, meningkatkan semangat dan harga diri serta kemuliaan sebagai hamba Allah, inilah pangkal utamanya. Semoga bermanfaat, wallaahu a’lam

Monday, October 19, 2009

Pengemis itu Malas, Benarkah?

Pengemis itu Malas, Benarkah?

Apa yang hadir dibenak kita ketika seseorang menyebutkan kata pengemis? Berikut jawaban teratas yang akan muncul; pemalas, mencari yang mudah, tak berani melawan tantangan hidup dan tidak kreativ, benarkah demikian? Setelah melihat dan memperhatikan, memahami dan mencoba merasakan, ternyata semua itu tidak selalu benar, dan yang benar menurut saya adalah, ikuti pemaparannya berikut ini.

Pengemis = Pemalas?
Apasih malas itu? Malas adalah tidak mau bekerja atau melakukan sesuatu. Apakah pengemis itu malas? Lihat di jalan-jalan raya pinggir kota jakarta semisal Bogor, Bekasi, Depok atau tangerang, banyak pengemis mulai ”menjajakan” dirinya dipagi hari berbarengan dengan karyawan swasta, hal ini tentu saja mengalahkan sebagian pegawai negeri ini. Mereka rela duduk dari pagi sampai siang, atau berjalan mengelilingi sudut-sudut kota, perumahan, pasar dengan jarak yang tentunya tidak dekat untuk mencari orang yang mau membeli rasa ibanya, sebagian mereka rela melawan panasnya terik mentari, jika kita menyaksikan ini, malaskah mereka? Mereka tidak berdiam diri, mereka melakukan suatu kegiatan. Malaskah mereka?

Pengemis = Mencari yang mudah
Sungguh bekerja menjadi pengemis bukanlah hal yang mudah, penuh tantangan dan daya kreatifitas tingkat tinggi. Saya yakin saya tidak akan mampu melakukannya, atau ada diantara para pembaca yang mau mencoba? Ha...ha...ha...siapa berani?

Pengemis = Tak berani melawan tantangan hidup?
Benarkah? Pengemis itu orang yang sangat berani melawan tantangan hidup, benarkah? Pertama ia membuang jauh-jauh rasa malunya. Mengiba bukanlah perbuatan yang mudah perlu kesungguhan dan tentu saja hal ini merupakan tantangan tersendiri. Resiko mengemis adalah cacian, cibiran, hinaan, makian resikonya ya diusir, bukankah itu tantangan? Resiko selanjutnya adalah trantib/Polisi Pamong Praja, yang pada moment-moment tertentu akan siap menangkap mereka, bukankah itu tantangan? Siapa diantara kita mau dan bisa ”berperan” seperti mereka, berani menerima tantangan?

Pengemis = Tidak kreatif
Setelah mencoba melihat dunia mereka, aku hanya bisa tersenyum. Pengemis itu sungguh luar biasa kreatifnya. Baju dibuat lusuh dan compang-camping, mampu memainkan peran mengiba untuk menarik perhatian dan mempengaruhi rasa kasihan orang disekitarnya, agar mau memberi dan berbagi. Mereka memoles diri dengan berbagai aksesoris yang membuat kesan kesakitan dan penderitaan, tidakkah itu kreatif?

Jika mereka mampu berperan melakukan hal seperti ini untuk mengais iba para konsumennya sehingga para konsumennya mau membeli ”kreatifitas” yang mereka tampilkan, malaskah mereka? Jadi ketika diri ini melabel para pengemis itu malas, tentu ini perlu kita petimbangkan lagi. Bandingkan, maaf dengan diri kita sebagian pegawai negeri, swasta atau ”orang-orang yang terhormat” di negeri ini. Bersambung

Thursday, October 8, 2009

Kecenderungan dan Keterpaksaan

Kecenderungan dan Keterpaksaan
(Sekedar introspeksi diri)

Ketika jalan-jalan sepi, pengendara cenderung untuk mempercepat lajunya. Ketika jalanan macet para pengendara terpaksa menunggu giliran untuk berjalan, biasanya ketika suasana ini terjadi yang ada hanya umpatan dan makian, suasana diri dan lingkungan menjadi panas, tidak nyaman. Ketika ada pembagian uang hampir semua orang cenderung ingin berada pada barisan paling depan, agar ia tidak kehabisan. Terjadilah berbagai musibah kemanusiaan karena uang pada saat bulan yang penuh dengan kemuliaan (ramadhan). Jika saat itu ada dibelakang, terpaksa karena datang terlambat, sungguh tragis kekayaan, kedermawanan dan kemiskinan yang dipertontonkan. Lain hal saat ibadah (shalat) banyak orang cenderung ingin dibelakang, dan kalau paling belakang, terpaksa karena datang datang terlambat.

Ketika antri makanan banyak orang cenderung berada pada posisi terdepan, agar tidak kehabisan sekaligus bisa mengambil makanan lebih banyak, terserah yang lain, tak peduli amat yang penting aku kenyang. Ketika berada pada posisi paling belakang, terpaksa karena datang terlambat tapi diri khawatir takut kehabisan. Ketika sedang menunggu kendaraan umum kita cenderung ingin duduk santai, jika kondisi ramai rela berebut untuk mendapatkan kursi dan nyaman, bahkan tak peduli ada orang yang lebih membutuhkan. Tapi ketika kursi tak dapat dan harus berdiri sesak, terpaksa yang penting bisa pulang.

Ketika suatu hal menguntungkan diri sendiri munculah kecenderungan, dan keterpaksaan mengikuti ketika kecenderungan terkalahkan oleh kecenderungan orang lain.
Yang menarik dari kecenderungan dan keterpaksaan adalah, hampir semua manusia cenderung tidak mau meninggal/mati karena takut belum banyak yang dinikmati dari dunia ini, tapi kalaupun akhirnya harus mati juga, ya terpaksa, karena diri ini bukan apa-apa, tak punya kuasa apa-apa untuk menolak, maka dari itu siapkanlah kecenderungan diri yang lebih baik dari kecenderungan manusia biasa pada umumnya, agar tak pernah ada keterpaksaan yang membawa derita. Mudah-mudahan bisa dipahami. Wallaahu a’la.

Monday, August 24, 2009

Puasa dan Kemerdekaan

Puasa Dan Kemerdekaan

Puasa dan kemerdekaan (kebebasan) bagaikan dua sisi mata uang. Mengapa demikian? Sebagaimana kita ketahui bahwa inti menjalankan ibadah puasa adalah menanamkan/mendidik sikap sabar dalam segala hal. Sedang sabar merupakan inti dari kehidupan, banyak orang ”sukses” di dunia ini karena ia sikap sabarnya. Ibadah menjadi sempurna karena sikap sabar. Banyak pula orang yang tersesat/menyimpang jalanya karena tak sabar. Sikap sabar membebaskan manusia dari berbagai keinginan negatif yang dapat menyimpangkan arah hidup menuju jalan Tuhan. Menuju jalan yang dicintai-Nya.

Jadi orang yang bersungguh-sungguh menjalankan ibadah puasa, ia sedang berusaha membebaskan/memerdekakan dirinya dari penjajahan. Penjajahan nafsu negatif yaitu berbagai keinginan meraih kesenangan dunia. Kesenangan yang didapat seperti orang makan makanan yang ”enak”, terasa enaknya hanya sebatas dilidah saja.
Allah Maha Tahu, maka salah satu bentuk kasih sayang-Nya kepada manusia Ia membuat sebuah program pendidikan/pelatihan khusus/special yaitu puasa ramadhan disertai ibadah-ibadah penyempurna lainnya sebagai satu jalan menuju kebebasan/kemerdekaan. Kebebasan/kemerdekaan itulah tujuan dari pelaksanaan ibadah puasa, dalam bahasa yang sangat familiar yaitu taqwa (QS. Al-Baqarah: 183). Taqwa adalah kebebasan/kemerdekaan.

Kita sadar bahwa kemerdekaan/kebebasan tak mudah kita raih. Meraih kemerdekaan/kebebasan membutuhkan perjuangan ekstra dan luar biasa, kerja keras, butuh waktu, pemikiran, perjuangan fisik, strategi, harta, darah dan airmata. Demikian halnya puasa. Tapi ketika perjuangan telah membuahkan hasil, betapa senang dan bahagianya kita. Demikian halnya dengan puasa. Puasa adalah jalan menuju kebebasan/kemerdekaan (taqwa).

Wednesday, August 12, 2009

Rindu ramadhan


Kehadiranmu telah dinanti jutaan manusia-manusia yang sadar
Kedatangmu membawa sejuta harapan kedamaian jiwa-jiwa yang haus kasih-Nya
Kedatanganmu sekaligus menebar luka, luka karena secepat itu kau datang, secepat itu pula kau melenggang. Luka karena diri-diri yang haus akan kasih-Nya seakan bertambah haus ketika dirimu menyapa.
Rindu, rindu dan rindu, seakan tak ingin terpisahkan.
Harumnya aroma hari-harimu menambah semangat jiwa-jiwa yang sadar
Manisnya sapaan hari-hari bersamamu membuat jiwa-jiwa terhayut
Kebahagiaan ketika bersamamu sangat sulit diungkap dengan kata-kata
Rindu, rindu dan rindu, tetapi kami sadar akan keterbatasan
Kehadiranmu ingin mengingatkan jiwa-jiwa yang sadar agar tetap selalu sadar
Kehadiranmu membawa pesan damai, damai dalam jiwa damai dalam nyata
Ramadhan, kehadiranmu kami nantikan

Thursday, August 6, 2009

Apakah Keyakinan Itu?

Apakah keyakinan itu?

Keyakinan, dalam kamus bahasa indonesia online: ya•kin a 1 percaya (tahu, mengerti) sungguh-sungguh; (merasa) pasti (tentu, tidak salah lagi): hakim -- akan kesalahan terdakwa itu; ia berkata dng -- nya, berkata dng pasti; pd -- ku, pd pendapatku; 2 sungguh; sungguh-sungguh: -- bukan saya yg mengambil, kalau perlu saya berani bersumpah; dng -- belajar, belajar sungguh-sungguh; me•ya•kini v yakin (percaya dsb) benar (akan): benarkah engkau ~ nasihatku ini?; me•ya•kin-ya•kini v menyelidiki dsb supaya yakin; memastikan: ~ suatu hal yg buruk; me•ya•kin•kan 1 v menyaksikan sendiri supaya yakin; memastikan: supaya tidak salah mengambil putusan, baiklah kita ~ sendiri kebenarannya; 2 v menjadikan (menyebabkan dsb) yakin: ia berusaha ~ ayahnya bahwa uang itu benar didapat di jalan, bukan hasil curian; 3 v melakukan sesuatu dng sungguh: ~ pengajiannya; 4 a sungguh-sungguh (dapat dipercaya, dapat diandalkan, dsb): bagaimana kita tidak terpikat, perkataannya begitu ~; ke•ya•kin•an n 1 kepercayaan dsb yg sungguh-sungguh; kepastian; ketentuan; 2 bagian agama atau religi yg berwujud konsep yg menjadi keyakinan (kepercayaan) para penganutnya; ber•ke•ya•kin•an v mempunyai keyakinan; percaya benar: ia ~ suatu ketika anaknya yg merantau akan kembali ke kampungnya . (http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php)

Pada intinya dalam kata yakin terdapat pengertian, percaya. Sedang kata percaya dalam kamus yang sama dikatakan sebagai berikut: per•ca•ya v 1 mengakui atau yakin bahwa sesuatu memang benar atau nyata: -- kpd ceritanya; -- akan kabar itu; 2 menganggap atau yakin bahwa sesuatu itu benar-benar ada: -- kpd barang gaib; 3 menganggap atau yakin bahwa seseorang itu jujur (tidak jahat dsb): beliau tidak -- lagi kpd Amir; 4 yakin benar atau memastikan akan kemampuan atau kelebihan seseorang atau sesuatu (bahwa akan dapat memenuhi harapannya dsb): -- kpd diri sendiri; -- angin percaya yg sia-sia; me•mer•ca•yai v 1 menganggap benar atau nyata; mengakui benar atau nyata: ia tiada ~ segala kata dan keterangan saksi itu; 2 mengharapkan benar atau memastikan (bahwa akan dapat memenuhi harapannya dsb): ia ~ anak buahnya untuk membayar biaya pemasangan telepon; me•mer•ca•ya•kan v menyerahkan dng sepenuh kepercayaan (supaya dijaga, diurus, dsb); mengamanatkan: pengusaha itu ~ hartanya kpd adiknya; ia ~ kesehatannya kpd dokter itu; te•per•ca•ya a 1 (paling) dipercaya; 2 dapat dipercaya; ke•per•ca•ya•an n 1 anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yg dipercayai itu benar atau nyata: ~ kpd makhluk halus masih kuat sekali di lingkungan petani; 2 sesuatu yg dipercayai: bagi mereka hal itu bisa menghilangkan ~ rakyat kpd para pemimpinnya; 3 harapan dan keyakinan (akan kejujuran, kebaikan, dsb): hal itu dapat menghilangkan ~ rakyat kpd pemimpinnya; 4 orang yg dipercaya (diserahi sesuatu dsb): pemimpin itu sedang berunding dng orang-orang ~ nya dr daerah; 5 sebutan bagi sistem religi di Indonesia yg tidak termasuk salah satu dr kelima agama yg resmi: tokoh itu adalah penganut aliran ~

Percaya sama artinya mengakui. Kepercayan adanya di hati (qalb), sedang pengakuan adalah ungkapan lisan. Kita tidak akan pernah mengakui sesuatu jika kita tidak tahu, atau tidak menyaksikan, atau kita tidak berperan di dalamnya. Maka orang yang mengakui sesuatu padahal dia tidak tahu, maka dia disebut sebagai pendusta, pembohong, dan orang tidak akan percaya padanya. Siapa yang suka/mau didustai/dibohongi? Seorang pendusta seklipun pasti akan marah jika ia dibohongi, he..he…he.. kadal dikadalin, begitu kira-kira.

Pengakuan merupakan sebuah ungkapan terhadap apa yang kita tahu, dan karena kita tahu maka kita bisa mengungkapkan apa yang kita tahu. Dalam mengungkapkan hal yang kita tahu bisa diperkuat dengan memberikan bukti-bukt, kalu kita memang tahu, dan kita memiliki pengetahuan tentang itu. Pengetahuan itu sendiri terjadi karena adanya respon dari alat indra seperti melihat atau mendengar. Boleh dikata inilah fase awal masuknya suatu input dari object yang di lihat atau di dengar. Karena adanya respon alat indra, maka ia tahu, tuhkan balik lagi.

Setelah muter kesana kemari, sebenarnya ane cuma ingin bilang keyakinan adalah pengetahuan. Pengetahuan tak akan pernah kita dapat jika kita tidak mencarinya (mencari agar tahu). Kita yakin/percaya adanya Tuhan, Allah SWT karena kita ”tahu”. Kita yakin dan percaya kalau Allah itu Maha Esa karena kita ”tahu”. Apakah kita tahu kalau kita ini sudah yakin atau belum? Jangan-jangan kita yakin karena kita tidak tahu? Atau kita tidak tahu kalau kita yakin? Atau kita tahu dan kita yakin?, mudah-mudahan coretan ini bisa dimengerti, kalo tidak, mungkin anda belum yakin, he...he...he..., maksa ni ye? Kalo anda masih tidak anda bisa menyanggah tulisan ini.

Monday, July 13, 2009

Curang

Curang

Kata ini sangat popular karena sering disebut-sebut pada setiap pemberiataan media cetak dan elektronik akhir akhir ini berkait dengan pelaksanaan, pilkada provinsi, kabupaten/kota, pileg dan pilpres yang baru saja selesai secara quick count. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia online kata curang dijelaskan sebagai berikut: cu•rang a tidak jujur; tidak lurus hati; tidak adil: orang yg munafik senantiasa berhati --; men•cu•rangi v berbuat curang thd seseorang; menipu; mengakali; ke•cu•rang•an n perihal curang; perbuatan yg curang; ketidakjujuran; keculasan.
Berdasarkan pengertiannya tersebut di atas kata tersebut berkonotasi negative karena dampaknya merugikan orang lain. Dalam bahasa agama (Islam) tentu saja hal tersebut termasuk dalam perbuatan yang terlarang, mengapa? karena Islam ajaran yang sangat menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan sebagaimana contoh hidup pembawanya, yang tercinta Muhammad SAW.

Dalam dunia nyata ternyata kecurangan bisa terjadi dimana-mana, boleh dikata hampir disetiap sisi kehidupan hal ini bisa terjadi. Pelakunya siapa saja dari orang yang mengerti dan paham agama sampai kaum “awam”, dari mereka yang terpelajar (berpendidikan) sampai mereka yang “tidak berpendidikan”. Dari pejabat tinggi dan “orang-orang yang terhormat” sampai mereka yang melarat. Lalu mengapa banyak orang melakukan perbuatan tersebut? Hal ini tentu saja berkaitan dengan hasil yang dicapai yaitu kepuasan, kesenangan baik kelompok dan diri sendiri, karena mendapatkan kekuasaan, kedudukan/jabatan/pekerjaan dan itu bermuara pada uang yang berfungsi sebagai pemuas nafsu kesenangan, kepuasan sesaat.

Kita semua pasti tahu bahwa berlaku curang itu sangat dibenci oleh Allah SWT. Tapi terkadang entah sadar atau tidak kita rela memasuki area terlarang ini. Semoga kesadaran dari-Nya senantiasa menaungi hati kita sehingga menjadi kekuatan untuk selalu berusaha berlaku jujur dan bertindak adil, Wallaahu a’lam.

Thursday, June 18, 2009

Usia Bertambah dan Jatahpun Berkurang

Usia Bertambah; Jatahpun Berkurang

Terimakasih buat semua atas ungkapan doa dan cintanya atas bertambahnya usia. Semoga ungkapan sobat, sahabat, sodare-sodare, juga guru, murid-muridku tercinta dan partner mengajar ku yang terbaik di sekolah High/scope Indonesia TB. Simatupang Jakarta Selatan, Alumni Youth Islamic Study Club (yisc) Al-Azhar, mereka para aktivis penulis lepas multiply yang luar biasa, sahabat Facebook dan lain lain, sekali lagi terimakasih atas doanya semoga Allah Sang Maha Pencinta, membalas cinta-cinta yang telah terungkap.

Sudah beberapa hari ini ane sedang menikmati liburan sekolah, otomatis ada yang terputus rasanya ada yang hilang rasanya, he...he…he…ms. Amie, mpok warnet hs, juga libur nih. Mencoba mampir ketetangga yang nyediain layanan warnet trus buka email, facebook and multiply, wuahhh luar biasa, ane terharu, dan mengucapkan terimakasih buat sahabat, guru, murid yang telah mengingatkan ane. Terus terang ga ada kamus ulang tahun dalam hidup ini, bukan karena ane fanatic tapi emang dari dulu semenjak lahir ga pernah melakukan ritual yang satu ini. Baru akhir-akhir ini saja itupun karena perhatian (ceileee) dari semua orang baik yang ane kenal. Tapi bukan berarti ane lupe juga ame umur, insya Allah, umur adalah ingatan dan peringatan untuk senantiasa berusaha selalu memberi yang terbaik dalam kehidupan dan menjadi yang terbaik dalam pandangan-Nya.

Tulisan ini ane persembahkan buat semua yang terkasih oleh-Nya, terimakasih atas doa dan supportnya. Salam cinta buat semua.

Hidup, semua yang hidup mengalami proses kehidupan yang sama. Tumbuhan, hewan, dan semua yang hidup dan berjasad akan mengalami proses yang sama. Lahir, kecil, sedang, besar, tinggi, kuat, berangasur lemah, lemah, lemah, lemah dan ketika tubuh sudah tak mampu melawan arus kencangnya waktu dan jiwa sudah tak mampu difasilitasi oleh tubuh kasar yang fana, maka berpisahlah keduanya, kita mengenalnya mati, meninggal, wafat. Itulah akhir dari “hidup”. Tapi semua “tragedy” itu bukan akhir dari segalanya, mereka yang percaya, berkeyakinan ada hidup lain sebagai kelanjutan dari hidup diawal, keyakinan saya menyebutnya akhirat, alam lain yang kita tidak pernah tahu, tapi dia ada, ada karena saya meyakininya, dan sangat menyakininya.

Hidup, akan sangat bermakna jika kita mampu memaknainya. Seorang sahabat pernah bertanya kepada saya, bagaimana memaknai hidup? Saya katakan padanya, “hidup itu perbuatan, maka berbuatlah sesuatu yang bisa membawa manfaat yang baik untuk kehidupn., Sekecil apapun perbuatan baik yang kita lakukan untuk kehidupan akan sangat bernilai dan bermanfaat, ketika kita bisa menghasilkan manfaat dan nilai, itulah makna dari kehidupan. Tak ada makhluk yang diciptakan-Nya yang tak berpotensi dan berkualitas. Potensi dan kualitas itulah yang harus kita gali terus, terus dan terus, galilah potensi dan kualitas itu dengan perbuatan sehingga membawa nilai dan manfaat untuk kehidupan”

Begitulah yang kini sedang kita alami dan lakukan, terus menggali potensi diri agar berkualitas sehingga membawa nilai dan manfaat yang baik untuk kehidupan, dalam keyakinan yang saya pahami, itulah ibadah. Sebuah pengabdian untuk Dia yang telah menciptakan semua dengan kesempurnaan. Itulah ungkapan syukur, terimakasih atas potensi dan kualitas yang telah dititipkan pada diri. TitipanNya jangan kita abaikan. Ketika hidup membawa nilai dan manfaat kebaikan untuk kehidupan, itulah kebahagiaan. Sebuah rasa yang ingin diraih oleh mereka-mereka yang sadar.

Terimakasih sobat, mari kita berlomba-lomba dalam kebaikan dan kepatuhan pada-Nya, agar kehidupan menjadi bernilai, bermanfaat dan bermartabat di hadapan-Nya, bukan dihadapannya. Wallaahu a’lam.

Thursday, June 11, 2009

Deklarasi Pemilu Damai Yang Tidak Damai

Deklarasi Pemilu Damai Yang Tak Damai;
“Masih Ada Dendam Diantara Mereka?”

Begitulah aura para calon pemimpin kita, tampak jelas wajah tegang mewarnai air muka mereka, tak nampak sikap dann wajah kenegarawan mereka, nampaknya masing-masing terlihat memendam rasa kecewa berkait dengan komunikasi politik yang selama ini mereka lakukan. Saya menyimak sejak awal tayangan TV one, ada harapan diantara mereka saling bersalaman dan bertegur sapa untuk pendidikan politik kepada konstituennya, sampai akhir acara ini selesai tak terlihat penampakan itu ada. Kalau tidak salah capres Yudhoyono dan cawapres Budiono datang lebih awal, entah ada keperluan apa mereka tak langsung duduk di tempat yang telah disediakan, dilanjutkan oleh pasangan capres Mega dan cawapres Prabowo yang langsung menempati tempat duduk. Tak lama kemudian pasangan SBY berbudi menunju tempat duduknya, ada rasa salut buat cawapres Prabowo yang langsung standing dan menyalami pasangan SBY berbudi, tapi entah mengapa “Ibu”yang satu itu tak sedikitpun menunjukan keibuannya, ia seakan tak peduli ada siapa, ini sangat saya sayangkan. Sedikit tegur sapa terjadi antara SBY dan Prabowo, walau SBY masih terlihat kaku, lain hal dengan prabowo lebih cair.

Pasangan ketiga cawapres Yusuf kalla dan Wiranto, juga sama tak ada diantara mereka berempat mau menyalami satu sama lain, sungguh pada malam itu suasana damai tak terlihat damai. Ini tentu saja sangat bertentangan dengan semangat yang sedang digaungakan saat itu, deklarasi pemilu damai dan kekeluargaan dan kebersamaan.

Acara ini di selingi oleh tarian dari masing masing kandidat. Diawali dengan persembahan dari kandidat Mega Pro, diakhir performance kandidat pertama ada orasi yang menurut saya sangat menarik dan menggelitik Si Butet Yogya (Butet Kertaradjasa) yang “dipesan” megawati, dalam orasi yang terlihat sedikit netral, tapi tentu saja disesuaikan dengan pemesannya telah membuat salah wajah seorang kandidat (SBY) memerah seperti menahan marah (kesal kali ya sama kata-katanya si butet itu). Setelah hiburan selesai diikuti orasi politik Megapro yang dalam isi oransinya secara tidak langsung menyindir salah satu kandidat, (Ibu yang satu ini nampaknya kaga pernah nyadar kalo dia dulu juga kaga jauh beda). Hiburan kedua dan ketiga yang diringi orasi politik datang dari pasangan nomor urut selanjutnya.

Setelah itu mereka menyatakan ikrar untuk pemilu damai, kekeluargaan dan kebersamaan yang dipandu ketua KPU, setelah berikrar mereka walau masih terlihat sangat kaku saling berpegangan tangan dan sekali lagi tak nampak sikap keramah tamahan mereka sebagai bagian dari rakyat bangsa ini yang katanya terkenal dengan keramah tamahannya. Sungguh saya sangat kecewa menyaksikan acara ini, sebab harapan yang ada dibenak tak terpenuhi, penampakan mereka terlihat hambar, tak nampak ada kedamaian, kebersamaan, dan kekeluargaan, nampaknya masih ada dendam diantara mereka, kalau calon pemimpinnya aja begitu ape lagi rakyatnya, mereka belum memberikan contoh, tauladan sebagaimana yang diungkapkan dalam orasi cawapres budiono, “sesuai antara kata dan perbuatan”. Saya berfikir jika suasana ini tidak mencair sampai saat pelantikan presiden dan wakilnya, nampaknya Indonesia tidak akan pernah menjadi lebih baik, sedih dech, oh Indonesiaku.

Wednesday, June 10, 2009

DPR, Cincin dan Kehinaan

DPR, Cincin dan Kehinaan

Sebenarnya sempet gemes juga dan males berkomentar berkait dengan tingkah polah sebagian besar “orang-orang yang terhormat” di negeri ini yang katanya akan mengakhiri masa kerjanya. Tapi kalo kaga di curahin makin tambah memuncak, maka lebih baik dicurahin aja kali ya. Semalem, Metro TV sempet nayangin pro kontra masalah ini. Ada tiga panelis, satu perwakilan LSM, satu PKS, dan yang satu ga tahu dari ini dan dia ini yang paling membuat ‘nek, orang yang satu ini kekeuh mempertahankan alasan legalnya pembagian cinderamata berupa cincin emas. Kalo ga salah tadi sempet baca di editorial Koran tempo besaran keseluruhannya itu lima milyar booo!!!, (http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2009/06/10/index.shtml?ArtId=003_002&Search=Y), masya Allah, kaga sensi mereka itu terhadap kondisi ekonomi bangsa yang lagi morat marit. Sungguh terlaaaluuu, dah kerjanya molor, bangku sidang pada ditinggalin, kerjaan banyak yang tertunda, trus gajinya gede, tunjangannya banyak, rumah dikasih, mobil diutangin, listri, telepon dibayarin, belon lagi komisi-komisi kalo lagi sidang, (menurut Koran tempo wuiiiiiiiih, siapa yang kaga mao jadi ‘orang yang terhormat di negeri ini”, sampe gila-gilaan aja diladenin, innalillaahi wa inna ilahi raajiuun.Penghargaan wajarlah diberikan, tapi gimana ame kinerjanya? Kalo mau penghargaan dan kenang kenangan, plakat atau sertifikat penghargaan juga cukup, cobalah bersimpati dan berempati pada rakyat kecil bos.

Kalo ane berfikir banyak orang terhormat di gedung nyang ntu, tu, orangnye lebih miskin dari orang miskin, gimane kaga, gaji dapet, tunjangan melimpah, komisi kaga ketinggalan, liburannye keluar negeri, eh… masih minta dikasih cincin emas pula. Belon lagi dulu minta dibeliin laptop, aneh kan? Ape ntu bukan perbuatan orang nyang hina? Maaf ye kalo pernyataan ane aga kasar, tapi niatan ane bae sih, Cuma ngingetin, kalo nyang bapak-bapak dan sodare-sodare makan ade iyang berasal dari keringat rakyat-rakyat miskin yang makin terpuruk hidupnya, kaga berkah tuh, liat tu rakyat makin susah, bapak-bapak yang terhormat sih enak.

Buat bapak-bapak, sodare-sodare nyang telah terpilih, dan akan dilantik mewakili rakyat and pastinye akan mendudukin gedung yang terhormat, jadilah orang yang terhormat, agar DPR menjadi lembaga yang bener-bener bermartabat, kerja membela kepentingan rakyat yang telah mengamanatkan suaranya pada orang-orang yang dianggapnya tepat, ingat!!! Allah, Tuhan YME Maha Mendengar dan Maha Melihat, biar kaga dilaknat, jadilah orang yang bermartabat, beri contoh kepada kami rakyat-rakyat yang selalu berharap, insya Allah untuk kebaikan dan kebenaran rakyat pasti mendukung dengan semangat, bukan begitu???

Thursday, June 4, 2009

Akhirnya Keadilan Itu Datang; Ucapan Selamat Buat Ibu Prita

Meskipun masih harus mengikuti sidang gugatan Pidana karena tuduhan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang. Prita Mulyasari, Ibu dua balita yang selama ini merindukan kehangatan kasih sayangnya, kini telah mampu bernafas lega karena pihak pengadilan tangerang yang telah semena-mena melakukan penahanan, entah ada apa dibalik penahanannya ini perlu diusut tuntas, sebagai mana koran tempo hari ini merilisnya, saya sangat setuju sekali, ini memang perlu di usut tuntas karena kemungkinan "ada udang dibalik batu" atau "main mata" dari orang-orang yang "punya kuasa" dalam kasus ini bisa dipaparkan dengan jelas, transparan, sehingga jelas siapa yang salah sehingga kedua belah pihak tidak dirugikan. ini penting, dimana transparasi dan keadilan untuk semua yang semakin mendengung menjelang pemilihan pemimpin negera di negeri tercinta ini.

Salut buat teman-teman yang masih punya nurani, cerita ini tentu akan berbeda jika tak ada peran media masa yang mendengungkan dengan keras ketidak adilan ini, atas izin-Nya juga akhirnya dinding keadilan bergetar juga, Ibu Pritapun di "bebaskan". Buat para penegak hukum dan orang yang punya uang di negeri ini, janganlah menjual nurani dan kebenarab anda dengan mengikis habis kebenaran dan nurani hanya untuk kesenangan semata, ingat, dunia ini bukan akhir dari segalanya, sadarlah saudara!!!

Wednesday, June 3, 2009

Mendukung Datangnya Kadilan Untuk Prita, buat yang punya nurani

Bagai semut lawan raksasa, begitu kira-kira ketika menyaksikan fenomena keadilan di negeri ini. Seorang wanita yang curhat via email atas pelayanan sebuah rumah sakit bertaraf internasional harus mendekam di rumah tahanan wanita tangerang/LP wanita. Menurut beberapa media yang saya baca minggu-minggu ini (kompas dan koran tempo) sungguh ironis dan sangat menyayat hati, apalagi beliau harus meninggalkan kedua anaknya yang masih balita, sungguh kekuasaan dan arogansi yang di luar perikemanusiaan. Jika kita bandingkan dengan kasus yang menyangkut orang berduit di negara ini penahanan tersangkanya begitu lamban dan mereka masih bisa bebas berkeliaran, patut pula kita pertanyakan ada apa di balik semua ini.

Inilah Indonesia, negeriku tercinta, perlindungan terhadap pelayanan umum bagi rakyatnya tak pernah diperhatikan, tapi ketika pelayanan itu dikeluhkan, penjaralah imbalannya. Kapan di negeriku tercinta ini ada lembaga pemerintah yang bisa memberikan advokasi terhadap keluhan konsumen? Kerugian konsumen?

Sebagai orang yang pernah merasakan kerugian terhadap pelayanan umum, mengajak siapa saja untuk bersimpati terhadap penderitaan sdri. Prita, semoga keadilan bisa ia dapatkan, juga untuk yang lain tentunya yang tak mampu mengungkap kekecewaan terhadap pelayanan umum. Semoga para calon pemimpindi negeri ini yang sedang berkampanye mau mendengar, memikirkan solusi untuk seluruh perlindungan para konsumen/rakyat di negeri ini. Sebab jika tidak hal ini akan menjadi precedent buruk di masa yang akan datang, ketakutan akan dipenjarakan oleh kekuasaan uang, jika mengeluhkan buruknya pelayanan publik yang menimpanya, maka rakyat akan selalu menjadi object penderita yang selalu dirugikan. Ini tak bisa dibiarkan.

Wednesday, May 27, 2009

Pemimpin Itu Raja, Raja Itu Pemimpin

Pemimpin Itu Raja, Raja itu Pemimpin?

Dalam sejarah Islam, sejak Masa Rasulullah tercinta, Muhammad SAW, hingga ke empat sahabat terdekat yang menggantikan kepemimpinan setelahnya termasuk di dalamnya juga Khalifah Umar bin Abdul Aziz, bagi yang setuju atau mungkin saja ada yang lain menurut apa yang diyakini dalam anutan Islam yang berbeda, menjadi pemimpin itu menjadi pelayan. Pelayan Tuhan (menurut bahasa teman saya yang berbeda keyakinan) yang otomatis ia menjadi pelayan bagi umat-Nya. Kita lihat bagaimana Rasulullah tercinta yang menjadi pemimpin besar umat manusia pada saat itu, tak secuilpun harta yang ia tinggalkan. Semua yang dimilikinya di shadaqahkan untuk melayani umat-Nya.
Setalah beratus-ratus tahun sepeninggal diri dan sahabatnya yang shaleh, kepemimpinan Islam serangsur-angsur berubah menjadi kerajaan, kita tahukan raja itu, ia pemimpin masyarakat saat itu dan ia dilayani oleh masyarakatnya, karena dilayani maka kekayaannyapun berlimpah ruah ada dimana-mana. karena itu banyak yang ingin jadi raja, maka terpecahlah umat Islam dalam potongan-potongan raja-raja kecil yang tentu saja kekuatannya sangat tidak diperhitungkan. Maka hancurlah kekuatan yang luar biasa ditakuti dunia pada saat itu.

Melihat para pemimpin di Indonesia (sebenarnya bukan hanya pemimpin, ulama/cendikiawan/ ustadz-ustadz/kyai-kyai (mungkin juga pemimpin agama lain) di negeri inipun banyak yang dilayani umat/pengikutnya, bagi umat Islam, tentu saja para pewaris nabi itu jauh dari tuntunannya). Jadi kalau ummat/rakyat itu berantakan akhlaknya ya jangan disalahkan juga, karena apa? Karena tuntunannya tak mengikuti tuntutannya.

Kita kembali membicarakan judul di atas, jika pemimpin menjadi raja, maka yang kaya dan mampu menggapai serta menikmati kue negeri ini adalah mereka yang dekat dengan sang pemimpin tersebut, entah siapa dia. Bagaimana rakyatnya, yah ga usah jauh, jauh lihatlah negeri tercinta ini. Mungkinkah setelah pilpres tahun ini terpilih pemimpin yang mau menjadi pelayan? Atau sebaliknya? Kita tunggu aja ya? Btw siapa yang diantara mereka yang mau jadi pelayan? Kalo ada, insya Allah akan kupilih dia. Btw, mungkin tidak ya?

Tuesday, May 26, 2009

Bagai Belatung Mengungkap Buruknya Borok

Belatung Di Negeri Borok; Mengungkap Buruknya Borok
Untuk kita renungkan
By: Gunawan

Membaca ruang editorial Koran tempo pagi ini (senin, 25/05/09, agak telat memang postingnya), menyimak pula fenomena negeri tercinta ini, membuat diri merenung dan sejenak berfikir, akhirnya terungkaplah sebuah ide untuk mengungkapkan sebuah peribahasa dan sedikit uraian penjelasannya. Peribaha itu “bagai belatung mengungkap buruknya borok”, sebelumnya mohon maaf kalau ungkapan ini terkesan kasar, kotor atau jorok atau apalah, bahkan mungkin diantara kita ada yang tidak suka bahkan tersinggung, tapi jika pembaca cerdas, insya Allah tidak akan pernah tersingung, mengapa? Karena satu saat nanti, cepat atau lambat belatung akan menjadi bagian dari diri ini.

Kita semua tahu belatung? Ya, binatang yang satu ini hidup pada tempat-tempat yang bisa membusuk. Kita juga tahu kalau belatung tidak akan pernah hidup jika tidak ada media yang menyebabkan dirinya hidup. Lalu apa maksudnya? Begini, saya umpamakan belatung itu adalah diri kita, dan boroknya adalah negeri tercinta ini, tempat kita menikmati hidup. Tapi mengapa perumpamaannya harus belatung dan borok? Bukankah itu menjijikan dan menghinakan? Betul, keduanya memang menjijikan. Tapi keduanya hanya perumpamanan saja. Perumpamaan dari tingkah laku kita/perbuatan dan perkataan kita itu kata kuncinya. Sadarkah kita jika perkataan dan perbuatan yang pernah kita lakukan banyak yang sangat menjijikan dan menghinakan?

Bagai belatung mengungkap buruknya borok, fenomena ini terjadi di negeri ku tercinta, Indonesia. Panasnya suhu pilitik menjelang pilpres, karena tingkah polah para politisi dan para pendukung partai, tak kalah seru datang dari mereka yang mengajukan diri atau diajukan sebagai capres dan cawapres. Sangat menjijikan dan menghinakan. Betapa tidak? Lihatlah, mereka kini sedang berperang urat syaraf, saling melempar aib dan fitnah negeri ini/mengungkap borok negeri ini, menyalahkan satu sama lain sebagai penyebab semakin kronisnya borok negeri ini.

Kita semua tahu, siapa mereka, mereka yang kini tampil bukan orang baru, bukan generasi baru, bukan product baru. Mereka adalah pemain lama, bahkan mereka semua pernah menjadi presiden/wakil presiden dan pejabat penting di negeri ini, yang telah dengan senang hati bersama para kroninya menikmati bangkai negeri ini, aneh bukan? Mereka menampilkan kesan ingin cuci tangan, bersih dan tak pernah andil terhadap borok yang semakin kronis ini. Tak satupun diantara mereka yang mau mengakui kesalahan atas kebijakan yang telah mereka (executive dan legislative) hasilkan dan telah di “nikmati” pahitnya oleh rakyat/wong cilik, petani, buruh, nelayan, pedagang kaki dua dan kali lima, juga pemulung, tapi kini mereka sedang dielu-elukan untuk dinaikan derajatnya. Mengapa wong cilik? Bukan wong besar yang menjadi penikmat sebenarnya segala kebijakan pemerintah.

Meraka sadar, karena rakyat pada strata ciliklah yang menjadi penghuni terbesar negeri ini, mereka menjadi mayoritas juga akibat kebijakan-kebijakan yang telah pemerintah dan partnernya (DPR) hasilkan pada saat menjadi pejabat negeri ini, iya toch?. Lha kalau mau terpilih maka rayulah mereka, ambil hatinya, atau beli suaranya, sungguh hina dan menjijikan bukan?
Melihat fenomena seperti ini sayapun berfikir, kira-kira, kata-kata/istilah/peribahasa apa yang cocok untuk fenomena semacam ini? Akhirnya terungkaplah sebuah kalimat yang menurut saya cocok dan mewakili kondisi negeri tercintaku saat ini, “bagai belatung mengungkap buruknya borok”.

Sahabat, belatung hidup dari yang mati/bangkai/sampah organik, ia mengurai yang mati untuk hidup, ia hidup di tempat yang sudah mati, ia menghabiskan yang mati, hingga dan iapun akan mati, ketika yang mati tidak ada lagi.

Belatung, tak ada yang suka sama makhluk yang satu ini, tak ada yang mau diidentikan dengannya, jijik, tapi tanpa disadai banyak tingkah polah kita lebih rendah dari mereka. Bangkai, jijik, kotor, busuk, bau, dan mau muntah jika melihatnya, tapi banyak diantara kita yang hidup seperti memakan bangkai, mencari hidup pada bangkai, harta haram, makanan haram, minuman haram, atau memperolehnya dengan menghalalkan segala cara. Pernahkah kita menyadarinya?

Sahabat, semoga hidup kita selalu terlindungi dan diselamatkan oleh-Nya dan jauh dari perumpamanan tersebut di atas, amiin ya rabbal’alaamin, ya, mujiibassaailin. Wallaahu a’lam.

Wednesday, May 13, 2009

Apa Yang Kita Miliki?

Apa Yang Kita Miliki?
Sebuah Renungan Tentang Diri
Bye; Aa Gun


“dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Qs. An-Nahl (16) : 78)

Adakah diantara kita yang masih ingat saat-saat/proses kita dilahirkan (dikeluarkan) dari rahim (perut) ibu kita? Insya Allah kita tidak ingat itu, tapi kita sampai sekarang yakin kalau kita pernah dilahirkan. Kalaupun ada yang dapat menceritakan saat-saat menegangkan itu, pastilah didapat dari cerita orang tua. Sedangkan kita sendiri pada saat itu tak ingat/tak tahu itu seperti apa saat itu?. Sungguh luar biasa jika kemudian dalam al-Quran kita temukan pernyataan Allah SWT seperti ini, “dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun…” .Ayat ini mengandung isyarat/petunjuk yang mengingatkan kepada kita bahwa kita saat itu kita ini lemah, tak berdaya, terikat dan butuh bantuan dari yang lain. Itulah kita.

Proses terus berjalan, waktu berputar, detik berganti, menit berubah jam, jam menjadi hari, hari berlalu menjadi minggu, minggu bertambah menjadi bulan, akhirnya menjadi tahun. Selama kondisi yang baik/sehat/seimbang (atas izin-Nya, bagi yang percaya pada-Nya), bersamaan dengan waktu, kita terus berkembang sampai batas akhir yang telah ditentukan. Batas akhir, ketika tubuh ini sudah tak mampu lagi mengikuti bertambahnya waktu dan perubahan zaman. Mampukah kita menghalau itu semua? mampukah kita melawan itu semua? Akhirnya kita kembali seperti saat semula kita dilahirkan, tapi pada saat seperti itu tak ada orang yang mampu menolong kita, membantu kita. Jika saat dilahirkan keterikatan kita pada yang lain (mungkin) dapat menolong, tapi pada saat itu, no way, nothing, and no one who can help you!!!

Lalu siapa yang menolong? Bukan siapa, tapi apa yang menolong? Dalam ayat berikutnya Ia menjelaskan, “dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” Dalam kondisi yang normal, Ia menyempurnakan penciptaan-Nya yang perkembangannyapun mengikuti waktu, yaitu pendengaran, penglihatan, dan hati, tujuannya? agar kamu bersyukur”, sadarkah kita kalau fasilitas tersebut telah menjadikan kita seperti sekarang? Bersyukurkah kita? Subhanallaah. Jadi apa yang kita miliki?

Jika kita sadar, penolong kita adalah diri kita, diri yang telah dilengkapi oleh fasilitas kesadaran (keimanan) yaitu, pendengaran, penglihatan, dan hati (qalb). Dari fasilitas kesadaran itu (jika difungsikan, dioptimalkan) insya Allah akan lahir pengabdian (Ibadah) yang tulus, ikhlas atau dalam bahasa agama teman saya “pelayanan”. Ya, kita melayani Allah dengan menjaga, memelihara dan mengembangkan apa yang telah diciptakannya, karena semua yang ada ini diciptakan untuk kita, manusia. Betapa Allah cita kepada kita.

Lalu apa yang kita miliki? Yang kita miliki hanyalah buah manis yang menyegarkan dan menyehatkan dari realisasi iman (optimalisasi dan realisasi fungsi kesadaran) kita untuk mengabdi pada-Nya, melayani-Nya. Itulah yang akan menolong dan menemani kita, itulah milik kita, itulah kebahagiaan kita. Di dunia dan di alam setelahnya. Wallaahu a’lam.

Wednesday, April 29, 2009

Ungkapan Wapres Yang Nyapres, Benarkah?

Ungkapan Seorang Wapres Yang Nyapres, Benarkah?

Seperti biasa setiap pagi di hari kerja koran tempo (maaf bukan promosi) setia menemani perjalanan panjang Bekasi-Jakarta via tol cikunir dengan bus jemputan setia (mayasari bakti 132/tunggal daya, juga bukan promos,i karena memang tak layak dipromosikan) mengapa? Karena kondisi bus tersebut hampir dan sudah tak layak jalan dan berdampingan setia dengan sopir-sopir yang tak pernah memperhatikan kenyamanan dan keselamatan penumpang, setoran dan komisi, mungkin begitu yang ada dalam benak mereka. Tapi kenapa masih naik? ya mau apa lagi, tidak ada pilihan, karena itulah rute terdekat menuju Cilandak dari Bekasi.

Kembali keinti masalah. Pada headline Koran itu tertulis sebuah ungkapan seorang wapres yang capres, begini, “teman-teman di daerah terpecah-belah pandangannya. Ditakut-takuti (karena kasus korupsi). Orang yang perkaranya 10 tahun lalu, (dengan nilai) Cuma beberapa juta ditangkapi,”. Terus terang ungkapan tersebut sangatlah mengejutkan dan sangat mengganggu. Mengapa mengganggu? Pertama ungkapan itu datang dari seorang wapres yang nyapres. Kedua, langsung terlintas dalam benak ane menafsirkan pernyataan itu, “jadi jika perkara itu telah berlalu tak perlu diungkap, dan agar tidak terungkap ya biarkan saja”, ketiga, nampaknya dia tidak peduli pada kondisi rakyat Indonesia yang menderita karena merajalelanya tindak korupsi. Kelima, kalau cuma berapa juta yang dikorup ya tidak masalah biarkan saja tak perlu diungkaplah. Begitu kira-kira.

Maka jika benar apa yang dimuat dalam isi pada headline Koran Tempo itu benar-benar diungkap oleh seorang capres yang nyapres, saya hanya bisa berkata “inna lillaahi wa inna ilaihi rajiiuun.” Nyata bagi kita sebagai rakyat kelas bawah yang boleh dikata kurang mendapatkan perhatian bagaimana tindak kejahatan menyelewengan jabatan merupakan hal yang biasa. Nyatanya dalam realitas kehidupan ya memang begitu.

Jika berita itu benar, hal itu merupakan cermin dari kebanyakan para poli tikus negeri ini. Jika itu benar itulah yang terjadi pada elit negeri ini, jika itu benar jangan harap kehidupan rakyat negeri ini akan berubah, jika itu benar ???, Apakah itu benar?

Monday, April 20, 2009

Ada Apa Dengan Masjid Kubah Emas?

Ada Apa Dengan Masjid Kubah Emas?

Beberapa kali dari beberapa teman yang berbeda bertanya kepada ane tentang masjid kubah emas yang ada di Depok Jawa Barat. Hampir semua diantara mereka terlihat tidak puas mendengar jawaban saya. Begini ceritanya;

Diantara teman-teman yang datang ada yang pernah mengajak berkunjung kesana, tapi tidak bisa karena ada sesuatu hal. Ada juga teman yang menceritakan pengalaman menyaksikan kemewahan masjid itu dan lain-lain, pokoknya mereka yang pernah kesana selalu berdecak kagum. Saya sendiri memang belum melihat dengan mata kepala saya sendiri, tetapi kalau melalui media seperti di TV sih pernah, malah salah satu sta. tv swasta, masjid itu menjadi tampilan utamanya ketika adzan maghrib dan subuh.

Memang masjid itu sangat fenomenal dan wah (walau belum melihat langsung), atau sekedar mendengar ungkapan dari beberapa ibu-ibu majlis ta’lim dan teman-teman yang pernah mengajak saya. Misalnya saya pernah melihat dari tayangan salah satu TV swasta dalam acara infotainmentnya yang akan meliput masjid tersebut tapi tidak bisa masuk karena masjid dan areal sekitarnya sedang dibersihkan, jadi ditampilkan dari luar saja. Melihat dari tayangan TV tersebut, terus terang melihat pemandangannya saja saya sangat senang. Indah sekali nampaknya. Subhaanallah.

Tapi ada yang membuat saya enggan berkunjung kesana, mengapa? Karena kubah mesjid itu berlapis emas. Lho memangnya kenapa? Bukankah itu menunjukan kebanggaan? Seorang teman pernah menyanggah seperti itu. Tapi bagiku tidak, kubah emas itu (kalau memang benar-benar terbuat dengan lapisan emas) membuat hati ini sedih, kenapa? Emas itukan sangat berharga karena harganya mahal, entah berapa kilogram emas habis untuk melapisi kubah masjid itu, jika diungkan luar biasa bukan?

Bagiku itu adalah masjid tempat yang mulia, emas yang ada di kubah itu merupakan bentuk kemubaziran, mengapa mubazir? Begini kemuliaan/ibadah tak bisa disandangkan dengan kemubaziran. Maksudnya, emas adalah harta yang sangat berharga, lalu ia diletakan disebuah tempat yang akan membuat emas itu menjadi tak berharga, mengapa? Emas itu seakan dihambur-hamburkan, seperti apa? Emas itu lambat laun akan berkurang kadarnya karena terpaan alam seperti panas, dingin, angin dll, bukankah itu sama dengan mubazir? Lho kalo gitu apa bedanya dengan monas, kenapa kamu mau kesana? Sanggah temanku lagi, yup, anda benar, saya mau kesana karena monas itu bukan masjid. Itu tempat hiburan/rekreasi, jawabku.

Lalu kamu ga bangga dong? Apa yang perlu dibanggakan, untuk apa membanggakan bangunan, aku akan bangga jika ada orang yang mau berkorban memperjuangkan nasib umat Islam yang terbelakang dari sisi pendidikan? Aku bangga dengan orang yang mau memperjuangkan agamanya, dan bukan “menjual” agamanya. Nah, itulah yang kamu tidak tahu, lokasi itu telah menjadi lokasi emas karena telah menghidupkan ekonomi “ummat”, banyak orang yang berjualan di sana, balasnya. Kalau memang begitu ya bagus dan patut kita banggakan. Dan aku tak pernah menyanggah hal itu.
Kalau begitu kapan kita kesana? Ajaknya lagi. Kalau masjid itu sudah tak berkubah emas, jawabku, singkat. Begini, selama masjid itu masih berkubah emas mungkin aku tidak akan mau kesana. Banyak hal yang membuat hati ini begitu menentang rumah ibadah yang berbalut kemewahan.

Akhir dari obrolan saya meminta maaf atas kebodohan saya yang tak bisa membanggakan apa yang mereka banggakan. Kita hanya berbeda sudut pandang dalam memahami esensi sesuatu, tak perlu dipermasalahkan, anggaplah kita sedang berbagi rasa, kamu merasakan kebanggaan dari apa yang kamu lihat, saya hargai, dan tolong hargai juga kesedihan apa yang saya saksikan. Banyak orang yang sependapat dengan anda, tapi ada pula orang yang mengalami perasaan serupa dengan saya. Wallaahu a’lam.

Mungkin diantara kita ada yang punya pengalaman atau argumentasi lain? Monggo.

Friday, April 17, 2009

Yang Terungkap dan Yang Tidak

Yang Terungkap dan yang Tidak

Ada beberapa hal yang nampaknya tak mengemuka dari ungkapan para pemimpin partai politik berkait dengan rendahnya partisipasi rakyat dalam melaksanakan pemilu legislative. Berdasarkan survey kecil-kecilan walau tanpa data, sebenarnya ada beberapa tipe rakyat Indonesia terhadap pelaksanaan pemilu legislative:
1. Mereka yang golput dalam arti yang sesungguhnya, yaitu mereka yang memang tidak mempunyai pilihan karena sudah hilangnya kepercayaan mereka terhadap kinerja anggota DPR/MPR, berdasarkan pengalaman masa lalu. Dan mereka juga nampaknya gencar mengomentari riweh bin amburadulnya pemilu, siapa hayoo???
2. Mereka yang golput karena ulah KPU, yaitu mereka punya keinginan kuat memilih tapi tidak tercatat dalam DPT, ini akibat rendahnya kinerja KPU sebagai penyelenggara pemilu. Rasanya aneh sekali kalau ada banyak diantara rakyat Indonesia yang terbengkalai, kalau didaerah terpencil, kaya di atas gunung sih masih kita maklumi, lha ini di kota besar like Jakarta? Buruk sangkanya kan, “ngapain aja dengan biaya milyaran rupiah wahai KPU? Masya Allah, kayaknya perlu di usut tuntas nih, biar clear.
3. Mereka yang golput karena sengaja menyia-nyiakan kesempatan sedang mereka terdaftar di DPT, katanya, “mending gue pulang kampung aja liburan”, atau “mending tidur aja di rumah”, ada juga yang tidak tahu batas waktu pencontrengan, pas dia dating eh udah tutup pencontrengannya, bisaaa aja.
4. Mereka yang golput terkena musibah, sakit, orang yang di rumah sakit pada pemilu sekarangkan ga bisa nyontreng di RS.
5. Golput dari kalangan wartawan cetak dan elektronik yang sedang menjalankan tugas diluar dapilnya.

Itulah kira-kira hasil “gerilya” saya dan mensikapi tingkah laku para elit politik, dan saya yakin sekali boleh dikata kecurangan itu ada pada setiap sisi dari yang terbawah sampai yang tertinggi, jadi jangan pada munafik ya, sok paling bersih pada. Apa lagi punya keinginan mengulang pemilu, boleh aja sih asal pake uang bapak moyang ente, jangan pake uang rakyat, mikir wahai para bos-bos poli tikus.
He…he…he…sori kalo pake sewot. Wassalam.

Tuesday, April 7, 2009

Sampai Saat Ini Saya Golput

Akankah Golput?

Ketika seorang teman bertanya, "mau pilih apa hari kamis?" ane jawab "belum ada piliha". Mengapa?, Bingung? tanyanya lagi. Bisa ya bisa juga tidak, jawabku politis. Bingung, bingung itukan orang yang ga tahu tujuan, mau kearah mana, karena semua caleg bermulut gula. Nah kalo ane, punya arah, tapi setelah memperhatikan dari beberapa pemilu yang ane ikutin, boleh di kata semua ga jauh beda, bahkan makin parah. Tapi ada bagusnya juga misalnya pengungkapan masalah korupsi, kalo jaman dulu kaga segencar sekarang, walau tetep aja masih ada kejanggalan dalam penetapan hukum buat para koruptor. Ape lagi kalo ane nyaksiin "bangku kosong", atawa mereka yang kelelahan sampai tertidur pula (ngorok juga kali) memikirkan nasib rakyatnya, luar biasa kan? Tapi sekarang bangku itu sedang diperebutkan ribuan orang, dan rela mengeluarkan uang banyak, dengan pembodohan politik, pada saat kampanye parpol parpol, yang ada dangdut erotis, he..he..he...makin terlena aja dah, lupa sama untuk apa sebenarnya mereka datang panas-panasan atawa kehujanan. Btw ada yang bilang juga, lumayan, bisa jalan-jalan konvoi, bisa melanggar aturan, menguasai jalan, membuat kemacetan, tanpa tahu adakah perubahan yang lebih baik setelah pesta ini berlalu?

Trus, tanyanya lagi?. ya ane lagi menunggu ketetapan hati yang lebih mendamaikan saja, sampai hari H-nya. Btw golput itukan diharamkan? tanya-nya lagi, "ah itu mah cuman lelucon doang". Mereka ga berfikir mendasar yang menjadi pokok masalahnya, yaitu, mengapa ada orang yang memilih golput. Seharusnya mereka mencatat baik-baik tuch, bagaimana hukumnya memilih para pembohong dan koruptor? Mencerna baik-baik tuch gaya-gaya kampanye yang menjurus pada pembodohan, dan hiburan yang tak mendidik, terutama anak-anak kecil yang nampaknya sangat menikmati hiburan dangdut erotis. Bagi ane mah keputusan haram itu tidak pada tempatnya. Jabatan itukan amanah-Nya, lha kalo, gaji dah selangit plus tunjangan-tunjangan yang sangat memalukan, tapi kerjanya molor, mangkir, korup? Nah itu, perlu MUI tegasin, cerdasin ummatlah.

Trus, ente kaga milih? bisa ya bisa tidak. Plin-plan dong? kejarnya. Plin-plan? gumanku sedikit berfikir, kalo menurut ane plin-pan itu orang yang ga punya keputusan, trus asal contreng. Misalnya, kalo ente milih, trus ente ga tahu siapa yang ente pilih dan partai apa yang ente pilih yang penting asal contreng, nah itu baru plin plan. Nah, kalo ane sedang berfikir, mana yang lebih maslahat untuk dipilih, kalo sampai hari H-nya ga ada, ya udah, buat apa memilih. Btw mudah-mudahan menjelang hari H sudah ada keputusan.

Gimana sudah mengerti? tanyaku. Ga, juga jawabnya. Ga papa, jawabku, mungkin ente sudah punya keputusan memilih, bagus itu. Lanjutkan!!!!

Tuesday, March 31, 2009

Belajar Islam Ko mahal?

Belajar Islam Ko Mahal?

Oleh; Gunawan

Sebagai muslim pernahkah terbesit pertanyaan mengapa dakwah Islam hanya menyentuh level-level tertentu saja? yaitu mereka yang mampu mengakses Islam karena memiliki fasilitas dan akses yang memadai. Sedang mereka yang berada di jalur yang termajinalkan oleh berbagai kebijakan serta tak memiliki fasilitas dan akses juga termarjinalkan dalam memahami agama. Agama menjadi penting dalam catatan pada kartu identitas yang mungkin akan dibutuhkan saat hanya pernikahan atau administrasi dunia lainnya. Agama juga hanya menjadi bagian dari ritual saat kematian, “syukuran” atau ritual-ritual yang bercampur budaya lainnya. Agama tak menjadi apa yang pertama kali di dengungkan dan disebarkan baginda tercinta dan sahabat shalihin yang dibuka untuk siapa saja, dan jika kita melihat sisi awal yang pernah dilakukan Nabi tercinta adalah pembebasan terhadap kaum yang terpinggirkan, yaitu mereka yang lemah dan tak berdaya karena kungkungan para pemimpin dan saudagar kaya yang sangat memegang teguh tradisi nenek moyang dan derajat socialnya, sehingga ketika Islam datang dan menyentuh hati orang-orang yang sadar dan mau berfikir, tak patah arang para saudagar menentang keras dan melakukan penyiksaaan secara kejam serta memboikot ekonomi para kaum marjinal yang telah tercerahkan.

Itulah cuplikan ringkas kenyataan yang ada ketika pertama kali Islam dikenalkan oleh Rasulullah tercinta. Islam disebarkan untuk mereka yang ingin mendapatkan hidayah Allah tanpa harus mengeluarkan uang. Mereka pada pejuang Islam malah mengeluarkan harta dan mengorbankan jiwa untuk tegaknya Islam. Tapi kini, jauh panggang dari api, orang yang ingin membaca belajar Islam, membaca al-Quran harus membayar, orang yang ingin memahami Islam harus merogoh kocek yang tak sedikit. Lain hal jika jika mereka mampu, tak masalah. Mereka bisa ikut training spiritual, mereka dapat mengikuti training shalat khusyu dan training-training atau mereka bisa membayar “kiayi/ustadz” untuk les agama.

Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak mampu? Tentu saja mereka tidak bisa memiliki pencerahan spiritual karena tak mampu mengikuti training spiritual ataupun shalat khusyu dengan biaya yang mahal dalam ukuran mereka, lagi pula, mungkin mereka tak mau mengikuti dengan alasan siapa nanti yang memberi makan keluarga mereka, begitu kira-kira. Demikian pula dengan kitab suci mereka, al-Quran, karena tak mampu membayar ustadz, atau memasukannya pada sekolah agama (madrasah), butalah mereka terhadap hak yang harus dimilikinya, maka jadilah agama sekedar catatan dalam tanda pengenal. Hal yang sama juga dialami oleh mereka yang mampu membayar untuk belajar agama. Agama hanya sekedar untuk diketahui. Sedang nilai-nilai luhur ajarannya hilang tak berbekas. Ini terbukti dari kondisi umat yang jauh dari nilai-nilai luhur sebagaimana telah dicontohkan Rasul tercinta, teladan hidup kita.

Dari fenomena tersebut tak pernahkah kita berfikir pasti ada yang salah dalam “dakwah” agama ini? Jumlahnya mayoritas di Indonesia, kyiai dan ustadznya banyak, bahkan sampai dilomba-lombakan layaknya Indonesian idol, KDI dan lainnya, punya potensi besar dalam masalah keuangan dari zakat, infaq dan shadaqah, sehingga banyak bermunculan lembaga-lembaga zakat dari baik tingkat local (nasjid-masjid), dan Negara dari kelurahan, kecamatan, sampai provinsi bahkan sampai tingkat nasional, ada di departemen agama, MUI, adapula organisasi keagamaan atau NGO, partai dan lain-lain. Andai semua yang jika disatukan saya yakin bisa mengatasi kebodohan beragama yang intinya pada kehidupan, tapi apa nyata? Innalillahi wa inna ilaihi rajiiun.

Begitulah Islam kini, mau belajar dan memahaminya mahal sekali harganya, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya. Islam telah menjadi produk yang bisa di perjual belikan, layakkah kalau al-Quran atau hadits itu diperdagangkan? Pernahkah kita pertanya? Inikah Islam yang didakwahkan Rasul tercinta?

Monday, March 30, 2009

Tangerang Selatan Berduka

Innalillahi wa inna ilai rajiiun

Siapa menyangka
siapa menduga
siapa mengira
atau siapa yang tahu kalau musibah itu datang
di tengah kegelapan malam
ketika jiwa-jiwa sedang asik becanda dalam mimpi
ketika harapan esok yang terang dipanjatkan
Tiba-tiba dalam hitungan detik puluhan nyawa melayang
puluhan rumah mewah tak luput dari derita
demikian juga mereka yang sederhana
diri tak mampu mengelak
harta benda tak mampu tertahan
semua lenyap dalam sekejap
ada yang bilang "itulah kalau ia sudah berkehendak"
berbagai ragam kata mencoba menerka
dari sisi iman bahkan hanya praduga
Yang pasti itulah kita yang tanpa daya
tak pantas kesombongan dikemuka
karena tak ada guna, percuma
pasrahkan semua pada yang empunya
Dialah Allah yang tak pernah pilih memberi coba
mari kita lekatkan diri pada-Nya
Sebab tak ada milik diri kecuali milik-Nya

Buat saudaraku yang sedang uji oleh-Nya
Semoga bisa melewati masa-masa sulit ini dengan berseerah diri pada-Nya
Semoga Allah mengganti semua dengan balasan cinta,
Bersabar itulah kunci dari segala untuk bahagia,

Satu kata untuk mengakhiri rasa duka ini
"masih ingatkah kita pada-Nya"

Friday, March 27, 2009

Alhamdulillah

Alhamdulillah acara bincang sehat alami bersama bapak Ferry Wong telah kami laksanakan, insya. Dengan sambutan yang hangat dari pada bapak dan ibu wali santri yang hadir berdialog dan berkonsultasi tentang penyakait yang dialaminya, insya Allah membawa banyak manfaat untuk semua.

Kami berharap dapat melanjutkan acara tersebut di waktu yang akan datang, agar bisa saling berbagi ilmu mengharap ridha-Nya

Thursday, March 5, 2009

Membudayakan Korupsi

Membudayakan Korupsi
Oleh: Aa Gun

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Qs. Al-A’raaf (7): 96)

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Qs. Al-Baqarah (2): 188)

Dalam sebuah hadits yang entah karena kesahihannya atau boleh dikata mungkin sengaja untuk dilupakan, dihilangkan, jangan terpublikasi, ga perlu digembar gemborkan, begini kalau tidak salah “arrasyi wal murtasyi finnaar” terjemahnnya “Orang yang menyogok dan yang disogok keduanya masuk neraka” begitu kira-kira, dari dua ayat dan satu kata hikmah saya mencoba merefleksikannya, selamat menikmati

Sekedar Refleksi Diri

Semua nyata bukan omong kosong, semua tahu, mungkin dengan membaca berita, semua paham mungkin pernah mengalami dan melakukan hal ini, membudayakan korupsi. Sekedar contoh misalnya kita pernah ditangkap polisi karena melakukan kesalahan disengaja atau tidak? atau polisi itu yang cari-cari kesalahan, karena satu dan lain hal terjadilah kesepakatan antara kita dan polisi, damai, mungkin saja si oknum polisi itu hanya mendapatkan uang lima ribu rupiah. Harga diri dan aturan begitu murah ya?

Sogok menyogok, pelicin, uang lelah, “hadiah”, ungkapapan terimakasih, damai atau bahasa apalah yang sebenarnya adalah ungkapan dari ketidak mampuan kita untuk menghindarinya karena “ketika uang ada dan berbicara” hasilnya jadi beda. Atau karena yah beginilah sistemnya, kita tidak bisa menghindarinya. Apa iya? Apa bukan kita malah melanggengkannya?

Kita pernah mengurus SIM, entah sekarang, kalo dulu, ada calo SIM, atau penjual jasa pembuatan SIM misalnya, mereka sangat dibutuhkan karena kesibukan yang kita miliki, dengan membayar lebih buat oknum tertentu, kita bisa dapatkan SIM itu, jalur cepat, instan bo, orang kita seneng sama yang instan-instan. Kita mau membuat KTP Jakarta, biar dianggap sebagai orang Jakarta misalnya, atau biar cari kerja mudah, karena belum atau tidak memenuhi syarat, kita bisa membayar oknum tertentu agar bisa mempunyai KTP berlogo monas (itu jaman dulu, apa sekarang logonya masih monas?) dengan membayar uang yang tidak wajar. Kurang ajar ya? Ya karena ga pernah belajar kali?

Kita ingin mengurus sesuatu pada instansi pemerintah misalnya, nah ini karena yang instan tadi, agar cepat selesai, disebabkan birorasi yang cukup njlimet juga, kita bisa membayar oknum yang bisa memfasilitasi agar segala urusan cepat selesai atau barang bisa keluar pelabuhan atau surat perizinan mendirikan sesuatu bisa lancar.

Kita ingin mendapatkan tunjangan kesejahteraan guru, tapi karena kuota terbatas, akhirnya masing-masing sekolah ingin semua gurunya dapat (ya wajar dong) tapi sekali lagi kita bermasalah dengan kuota, nah agar semua bisa lancar kita bisa memberikan sesuatu apakah melalui perjanian atau tidak, katakanlah uang pelicin atau hadiah sebagai ungkapan terimakasih buat jasa sang kepala dinas, kepala suku, kepala seksi atau siapalah oknum-oknum yang “lapar” (dipikir-pikir merekakan dibayar memang untuk itu? untuk melayani) tapi yakinlah semua akan beres-beres saja. Luar biasa sebuah kebiasaan yang tak pernah kita sadari. Instutusi pendidikan saja sudah tidak mendidik, yah beginilah jadinya. Di gugu dan ditiru (guru) tak mampu berbuat apa, kasih saja, rela tidak rela, meskipun harus mengadaikan keyakinan.

Bagi yang sedang belajar, biar nilai kita bagus berilah sang guru/wali kelas hadiah setiap pemberian raport, setiap hari raya atau berbaik hatilah padanya, yakinlah nilai anda tidak akan jelek, minimal pas-pasan gitu loch. Kita mau nikah, nah ditempat pengurusan nikah-menikah ini walau berbau agama hal-hal yang menyimpang dan dilarang tapi bagi oknum yang “lapar” bisa halal. Kita yang sedang mengejar jabatan berdasarkan jenjang pendidikan jaman sekarang tanpa report-report asalkan punya uang untuk membayar lembaga-lembaga pendidikan “nakal” insya Allah gelar aspal S1, S2, S3 bahkan mungkin S (ampe) T (elerpun) anda bisa raih. Agar jalur angkot kita lancar dan tempat ngetem yang sebenarnya terlarang bisa aman, gampang itu, siapakan uang untuk preman dan oknum polisi yang lapar, beres coy. Macet-lagi-macet lagi.

Ada lagi nih, kita ingin jadi guru negeri (sekarang lagi jadi inceran banyak sarjana, karena gajinya cukup lumayan, bo) ikuti test, trus siap-siap dateng tawaran masuk dengan imbalan uang puluhan juta. Atau ingin jadi pegawai negeri di Depag, atau departemen lainya, punya oknum orang dalem, punya uang, bisa dipermudah. Atau kita punya orang tua pejabat teras, kita bisa dititipin tuh, atau warisan lah, tenang aja. Mau jadi anggota DPR, punya uang ga? Harus, Kalo punya beli partai, atau bikin partai, tapi untuk jaman sekarang yang katanya berdasarkan suara terbanyak, agak sulit sih, tapi apa yang sulit kalau uang berbicara, he…he…he….

Masih banyak kata-kata lain untuk mempermudah jalan yang sebenarnya tak mampu untuk dilalui, tapi dengan uang dan beberapa kenalan, atau beking atau jabatan orang tua, teman, saudara, semua bisa menjadi lancar. Semua orang tahu dan mungkin diantara kita pernah melakukannya, bahkan mungkin mereka yang sering demo antikorupsi, diantara orang yang katanya beragama saja bisa menghalalkan hal ini, sehingga menjadi tradisi yang sebenarnya merusak tatanan kehidupan masyarakat dan ajaran agama.

Kita tahu, kita paham, kita sering mengomentari dan bahkan kita mungkin mengajarkan kepada murid untuk tidak melakukan korupsi, tapi kenyataan tanpa sadar kita telah membudayakan korups. Jangan sok sucilah, begitu cibiran biasanya, jangan sok bermorallah, jangan sok beragamalah. Yah itulah Indonesia negeriku tercinta yang terkorupsi.

Tapi tidak semua orang lemah iman dan pendiriannya masih ada diantara kita yang masih mau memperbaiki diri dengan tidak membiasakan tradisi yang hanya memperkaya diri oknum tertentu dan sendiri, seperti cerita yang sangat menggugah dari seorang teman seperjuangan yang disekolah. Ia menceritakan tentang ayahnya yang bekerja di sebuah departemen pemerintah yang “berbau” agama. Katanya dulu ortunya ingin sekali berada pada bagian pengawas (kalau tidak salah), karena tempat ini luar biasa “basah” katanya. Tapi ketika sang bapak menjadi pengawas benarlah adanya, dari berbagai jalan mereka yang berurusan dengan ortunya ingin memberikan “hadiah” karena atas bantuannya padahal memang itulah tugasnya, digaji negara ya untuk itu melayani. Tapi sang bapak menolak, dan hal ini senantiasa membuat heran para pemberi hadiah, kenapa? Karena memberi hadiah buat “sang pengawas itu hal yang lumrah”, namanya juga hadiah. Tapi untuk bapak yang satu ini tidak, segala bentuk hadiah yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja ditolaknya, begitu kira-kira. Sehingga nilai pluspun diraih sang bapak dari setiap orang yang berususan dengannya. Sebaliknya perlakuan berbeda didapati dari teman seprofesinya pada departemen yang sama, ia dicibir dan di jauhi, tapi sang bapak ini tetap teguh pada pendiriannya. Luar biasa! tapi kini ia sudah tiada, ketika mendengar cerita sang teman sebenarnya aku ingin menitikan air mata, andai negeri ini dihuni oleh kebanyakan orang yang seperti mereka? tentu berbeda ceritanya. Sambil mendengar ceritanya aku berdoa semoga ia husnul khatimah dan ia bahagia di alam yang telah dijanjikan-Nya, amiin.

Begitulah Indonesia dan korupsi. Korupsi memang telah membudaya, ia akan tetap ada danm eksis menggerogoti kekayaan negara dan harga diri, karena ia ada pada setiap sisi dan level, dari level yang rendah sampai yang tinggi, dari rakyat jelata sampai pejabat negara. Banyak diantara kita yang tidak peduli, siapapun dia, katanya sih ga mau nyusahin hidup yang sudah susah ini. Maaf bukan sok suci, sok moralis atau apalah, tapi tapi jika kita berani karena kita masih punya hati nurani dan tetap berpegang pada keyakinan pada kebenaran yang kita miliki dari ilahi minimal untuk diri sendiri, insya Allah budaya itu akan segera menjauhi negeri kita tercinta ini, Indonesia negeri tercinta jadi lebih Islami. Wallaahu a’lam

Monday, March 2, 2009

Kekurangan

Kekurangan
Oleh: Aa gun
http://aagun2010.multiply.com

Kekurangan, kata ini berasal dari kata kurang yang mendapat awalan ke dan akhiran an. Menurut kamus bahasa Indonesia kata ini berarti “ke•ku•rang•an 1 v tidak mempunyai (sesuatu yg diperlukan); tidak cukup mendapat (beroleh) sesuatu” Kekurangan bahasan kali ini adalah satu dari nafsu atau keinginan manusia yang tak pernah merasa cukup. Ini adalah bagian dalam diri yang disebut dengan serakah. Orang yang serakah adalah orang yang tak pernah merasa cukup, biasanya orang ini senantiasa bersikap sombong dan tidak bersyukur atas apa yang telah diberikan, lain kali, mungkin dia bersyukur tapi hanya sebatas ketika dia mendapatkan apa yang diinginkan. Orang yang mempunyai sifat seperti in, sebesar gunungpun kekayaan yang ia miliki tidak akan pernah merasa cukup.

Orang yang hidupnya selalu merasa kekurangan senantiasa berkeluh kesah, begitulah yang Allah gambarkan dalam al-Quran QS. Al Ma’ariij ayat 19, 20 21: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir” Merasa kekurangan tidak hanya monopoli orang miskin dalam arti yang sebenarnya, tetapi banyak orang (di negeri kita ini) walau hidupnya jika diukur menurut standar kemiskinan lebih dari cukup tetapi masih kekurangan sehingga (walau dia seorang pejabat dan dari sisi pengetahuan agama memadai) kerap melakukan korupsi.

Ayat di atas hendaknya tak dijadikan justifikasi untuk melanggengkan kehinaan manusia, alangkah cerdasnya jika ayat di atas menjadi bahan pemikiran untuk perubahan, bagaimana mempertahankan kemulyaanm sehingga tetap melabel dalam diri sampai akhir hayat.

Mari berusaha untuk senantiasa mensyukuri apa yang telah diberikan-Nya, sehingga secara perlahan kita terhindar dari sifat yang akan membawa diri kita pada derajat yang bahkan lebih rendah dari binatang ternak, naudzubillahi min dzalik. Allah Maha Tahu sekecil apapun yang tersurat dan tersirat dari hati setiap manusia.

Friday, February 27, 2009

Orang Beriman Yang Beruntung

Orang Beriman Yang Beruntung
Oleh; Bang Gun
http://aagun2010.multiply.com

Malam ini (kamis 26 Feb. 2009 jam 8.00-09.30) Pengajian Remaja Nurul Islam mencoba mempelajari surah al-mu’minuun (23) 1 sampai 11 dan berusaha mengambil nlai-nilai yang ada di dalamnya untuk kehidupan. Pengajian di awali dengan tadarus al-Quran surah al-mu’minuun ayat 1 s/d 11 dilanjutkan dengan pembacaan terjemahnya oleh salah seorang santri sedang yang lain diminta menyimak dengan baik. Setelah tadarus selesai saya saya melontarkan petanyaan. Jika kalian simak terjemahan ayat 1 s/d 11 tadi sebenarnya ada dua kata kunci, coba siapa yang tahu? Begitu saya mengajukan pertanyaan kepada mereka. Di antara mereka ada yang menjawab, “orang beriman dan beruntung”. Yups, tepat sekali.

Berikut ulasannya:

1. “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”
“Qadd aflaha al-mu’minuun”
Kata kunci dari ayat pertama ini adalah kata “beruntung dan orang yang beriman”. Lalu saya meminta mereka mendefinisikan kata beruntung. Sebelum mereka mendefiniskannya, saya meminta mereka membuat sebuah kalimat yang di dalamnya terdapat kata beruntung. Mereka semua mengungkapkan contoh kalimatnya, ada yang mengatakan, “selamat anda beruntung”, ada juga yang menyatakan “Nina sangat berutung karena memiliki ibu yang sangat mencintainya”, yang lain tak mau kalah “perempuan itu beruntung karena mendapatkan laki-laki yang baik seperti dia”, lalu, “Anda beruntung mendapatkan hadiah yang bagus”, selanjutnya “selamat anda berutung mendapatkan motor baru itu” dan yang lainnya.

Setelah itu, saya meminta mereka membuat kesimpulan dalam bentuk definisi. Nampak mereka mulai berfikir, mereka satu persatu memberikan definisinya. Akhirnya kami menyepakati untuk menyimpulkan kata beruntung . Beruntung adalah mendapatkan/memiliki sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan. Sesuatu yang kita dapatkan dan kita miliki yang membawa pada kesenangan dan kebahagiaan. Dan jika kita kaitan dengan transaksi, jual beli beruntung berarti mendapatkan kelebihan dari hasil penjualan setelah dipotong modal. Lalu saya tanyakan lagi kepada mereka, apa lawan kata beruntung, mereka sepakat “merugi”. Secara umum orang yang mendapatkan keuntungan dalam usaha insya Allah akan senang dan bahagia, sedang jika sebaliknya adalah menderita.

Lalu saya tanyakan lagi kepada mereka, siapa sih yang dalam ayat ini Allah nyatakan sebagai orang yang beruntung? Mereka menjawab kompak ”orang-orang yang beriman”, ”tepat sekali”, ”orang-orang yang beriman”. Orang-orang yang beriman yang seperti apa? Mereka menjawab:
1. orang-orang (beriman) yang khusyuk dalam salatnya,
2. orang-orang (beriman) yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,
3. orang-orang (beriman) yang menunaikan zakat
4. orang-orang (beriman) yang menjaga kemaluannya,
5. kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela
6. siapa (beriman) mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
7. orang-orang (beriman) yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, Dan orang-orang (beriman) yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya,
8. orang-orang (beriman) yang memelihara sembahyangnya
9. Mereka itulah orang-orang (beriman) yang akan mewarisi
10. (yakni) (beriman) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka (orang-orang yang beriman) kekal di dalamnya

Lalu saya mengkaitkan ayat ini dengan bagian dalam ayat dalam surah yang lainnya, misalnya surah al-Bayyinah
1. Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (ayat 6)
2. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. (ayat 7)
3. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya (8)

Ayat tersebut diatas juga berkatian hubungan (munasabah) dengan
1. sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (ayat 4)
2. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), ayat 5)
3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. (ayat 6)

Pengaitan ini bertujuan menguatkan keyakinan kita sebagai muslim dengan melakukan commpare and contras dengan orang-orang kafir (al-bayyinah ayat 6) dan orang-orang yang tak mengunakan potensi kemanusiaannya (ayat 5 surah at-Tiin)

Dari pengajian ini kami simpulkan ternyata iman saja tidak cukup tanpa menghasilkan buah dari iman, lalu apa buah dari iman itu? Amal shaleh (perbuatan baik/akhlak mulia) (Qs Al-Bayyinah ayat 7) dan at-tiin ayat 6) iman yang benar dan kokoh ibarat sebuah pohon yang kokoh dan kuat dan buahnya yang dihasilkan menjadi makanan yang menyehatkan. Begiutlah gambaran orang yang beriman (Islam) keyakinannya menjadikan orang yang ada disekelilingnya mendapatkan kebaikan, kesenangan, kedamaian dan kebahagiaan, bukankah demikian Rasul kita tercinta? Mari introspeksi diri, berbuahkah iman kita? Manis, menyehatkan, menyegarkan atau sebaiknya?

Nah berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas akan kita temukan korelasi definisi kata beruntung di sini seperti yang diungkan anak-anak tersebut dengan janji Allah. yaitu; mendapatkan/memiliki sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan, pada ayat terakhit Allah berjanji, Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya? Dalam ayat ini Allah menjanjikan akan memberikan (mewariskan) sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan, surga firdaus, yang akan kita dapatkan dan nikmati selama-lamanya, subhanallah, luar biasa. Tentunya Allah sediakan bagi orang yang beriman yang telah memenuhi syarat, sifat dan kriteria dalam surah almu’minuun tersebut atau dalam bahasa kesimpulan dua surat yang lainya, iman dan amal shaleh. Wallaahu a’lam