Thursday, November 25, 2010

Pegangan

Pegangan

“Saling Berpegangan ya, agar tigak jatuh”, “pegang erat-erat, hati-hati jalannya licin”, “, “pegang erat-erat, berjalan hati-hati, jangan dilepas sebelum kau sampai”, “makanya berpegangan pada peyangga itu”, “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali Allah (agama Islam) dan janganlah kamu bercerai-berai …” (QS. Ali Imran (3): 103). 

Beberapa kalimat tersebut  sering kita dengar dan mungkin juga pernah kita ucapkan, atau kita pernah diingatkan dengan ungkapan kata tersebut, bahkan Allahpun mengingatkan kepada kita untuk berpegang teguh pada ajaran-Nya. Lalu mengapa kita harus berpegangan? Atau mengapa kita membutuhkan bahkan harus punya pegangan? Untuk apa?

Mencoba menyimak pesan-pesan yang mengingatkan dan memahami mengapa Tuhanpun menegur manusia untuk berpegangan pula. Kita hidup di dunia ini bagaikan sedang menyeberangi lautan luas dengan ombak yang sangat kuat hempasannya. Agar kita tidak terombang-ambing dan mengakibatkan kita terhempas, atau kita sedang melewati sebuah jalan yang sangat licin, yang tentunya jika kita tak mempunyai pegangan kita akan terpeleset jatuh. Begitulah hidup, tak selamanya berjalan mulus sesuai dengan apa yang kita inginkan.

Pengangan itu sendiri berarti usaha untuk menjadikan sesuatu sebagai penopang yang membantu dan mengarahkan kita berjalan. Ketika kita mempunyai pegangan terasa setiap langkah dari perjalanan kita ini begitu mudah, dan tentunya kitapun harus mengetahui apakah yang kita jadikan sebagai pegangan itu kuat atau rapuh. setelah kita tahu yang menjadi pegangan itu kuat maka berpeganglah erat-erat. Dan jangan pernah jadikan sesuatu yang lemah itu sebagai pegangan, seperti hawa nafsu (yang negative). Kuat tidaknya sesuatu yang dijadikan pegangan ukurannya adalah ilmu/pengetahuan dan iman (keyakinan).

Sesuatu yang biasa dijadikan manusia sebagai pegangan dalam mengarungi hidup ini adalah agama dengan ilmu sebagai kunci pembukan dan penerangnya. Kita tahu banyak agama yang dijadikan manusia sebagai pegangan hidupnya, dan memilih berpegangan kepada sesuatu yang bisa dijadika sebagai pegangan adalah hak setiap manusia, sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan itu sulit untuk dipaksakan, maka sangat rasional sekali jika Allah juga memberikan pesan kepada kita:

Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ   

“tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut,  dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”

            Begitu pentingnya arti sebuah pegangan dan usaha kita untuk selalu berpegang teguh dengan apa yang kita yakini sebagai sebuah kebenaran yang benar. berpegangan merupakan  sebuah usaha, yang dipegang adalah sesuatu yang kuat agar kita mampu ditopangnya. Berpegang teguh berarti kita memegang sesuatu itu dengan kuat, dan tidak akan melepaskannya sebelum selamat sampai pada tujuan dari hidup ini. Tetapi dalam realitasnya, banyak orang yang menjadikan pegangan dipegang dikala butuh, dipegang dikala menguntungkan, bahkan tidak sedikit diantara kita yang  menyembunyikan pegangan itu karena nafsu ingin meraih yang lain, itulah para koruptor yang telah memiskinkan negeri ini, dan menyengsarakan banyak orang, mereka adalah para penghianat negeri ini, bukan pahlawan.

            Lalu mengapa manusia butuh pegangan?  karena manusia itu lemah, lemah dalam arti manusia bukan apa-apa, tidak punya apa-apa. Apa iya? Karena banyak orang di dunia ini yang merasa dirinya kuat? Masa sih? Kalau begitu mari kita berpikir, pertanyaanya; sejak kapan dia merasa dirinya kuat?  Lalu, sejauh mana kekuatan yang dimilikinya akan mampu dia pertahankan?  Dan tahukah kita ketika dia merasa kuat, itu karena ada yang diyakini dalam dirinya, meski keyakinan itu sangatlah lemah pada hakikatnya. Itulah hawa nafsu yang negative. Sekarang mari kita cari contoh orang terkuat di dunia ini, masih adakah? Mungkin ada, tapi dalam catatan sejarah, atau dongeng pengantar tidur. Jikalau ada pada saat sekarang orang yang merasa dirinya kuat, bertanyalah lagi, sampai kapan dia kuat, selama-lamanyakah? Jawabnya nothing! 

Dengan berpegangan manusia akan kuat, kuat dalam arti mampu mengarungi hidup ini. Dengan berpegangan berarti manusia menjalin kerja sama, karena sadar bahwa mengarungi hidup ini akan sangat sulit jika hanya seorang diri. Kita butuh orang lain, kita memerlukan orang lain, hal ini cukup sebagai bukti bahwa kita memang lemah. Jika dibanding dengan binatang, hanya manusia yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa berdiri. Lihatlah bayi kerbau, ia hanya membutuhkan waktu beberapa jam untuk bisa berdiri. 

Saudara jika memang kita telah punya kekuatan karena pegangan semoga tidak menjadi kekuatan karena dibalut kesombongan sebagai balutan hidup yang sangat lemah pada dasarnya. Berpegangan memiliki filosofi saling membantu, menolong dan bekerja sama, meringankan beban yang lain. Tidak tergolong seorang yang berpegangan jika ia menghempaskan orang lain, melupakan orang lain, menyingkirkan orang lain demi keselamatan dirinya sendiri. Wallaahu’alam.






Monday, November 22, 2010

Mengapa Menjadi TKI?

Mengapa Menjadi TKI; Dilema Negara "Kaya” Indonesia

Menjadi TKI bukanlah suatu yang hina, apalagi TKI yang mampu mengharumkan martabat bangsa. Namunsayang nasib TKI yang bekerja pada sektor rumah tangga sering kali mengalami nasib yang sangat menyedihkan, disiksa, dibunuh bahkan menjadi alat pemuas nafsu sang majikan, anak bahkan saudara, diperkosa. Bukan cuma harga diri (HAM) bahkan kehormatan.

Sungguh ini sebuah pelecehan dan penghinaan berbangsa, pelanggaran HAM. Apalagi akhir-akhir ini dan kini sedang ramai dibicarakan rakyat indonesia yang tersentuh nurani kemanusiaan tak sekedar nasionalisme. Arab Saudi, negeri tempat dua kemuliaan Islam, ternyata sebagian rakyatnya masih menampakan budaya jahiliyah dibalik penegakan hukum Islam, nampaknya keturunan sifat Abi Jahal dan Abu Lahab  juga Abu Sopyan  ayah dari Mua'wiyah yang keji, masih belum luntur, perbudakan terselubung tetap dipertahankan, meskipun kita juga tak bisa menafikan sisi kualitas TKI yang di kirim negeri pembebas benih-benih perbudakan pada masa yang tercinta Muhammad SAW.
Lalu apa factor yang menjadikan sebagian rakyat Indonesia rela “menjual” dirinya di negeri orang? Tak lain karena masalah ekonomi yang berbuntut kemiskinan dan pemiskinan,  plus kelebihan penghargaan yang diberikan (salary) jika dibandingkan dengan negerinya sendiri. Meski tak sedikit mereka yang sukses dan dengan bangganya pemerintah memberinya gelar pahlawan devisa, tapi jaminan terhadap harga dirinya terabaikan, uang dan uang masuk, itu yang ada dalam otak pemerintah, dan mafia-mafia yang kerap memoroti hasil keringat mereka saat kembali ke kampong halamannya, kejam, sunggung kejam, Meski bergelar pahlawan tetap menderita. Sementara pekerja-pekerja asing, baik yang resmi maupun illegal, termasuk yang menjadi guru pada sekolah-sekolah berlabel internasional  dengan kualitas yang patut dipertanyakan berhasil meraup dolar di negeri rupiah, sungguh sebuah dilemma di negeri yang makmur ini, katanya.
Masalah ekonomi yang berbuntut kemiskinan, sekaligus pemiskinan disebabkan mahal dan rendahnya kualitas pendidikan menyebabkan mental dan character bangsa yang buruk. Hanya Negara kita, Indonesia sebagai Negara kaya yang miskin dikenal sebagai pengekspor tenaga kerja non industry dan intelektual ke Negara lain, terutama Arab Saudi. Sungguh menyedihkan hutang luar negeri meningkat plus di korup, project-project Negara yang di catur, plus uang  rakyatnya yang bisa dipermainkan untuk mengenyangkan perut serta memperkaya segelintir orang-orang licik, picik dan berotak busuk, penghianat-penghianat negeri ini bebas gembira meski mereka dipenjara, penjara yang  tak pernah membuat mereka merasa bersalah kepada negeri, penjara yang melanggengkan kuasa para penista Negara. Kejam, dan kekejaman itu tetap dipelihara.

Mengapa menjadi TKI? Tak ada salahnya jika memang bisa mengharumkan nama negeri. Entah apa yang ada dalam otak para pengelola Negara ini yang seakan membiarkan nasib rakyatnya bak budak pada jaman jahiliyah. Mereka membutuhkan payung kemerdekaan dan perlindungan HAM, bukan sekedar hp, berantas juga mafia dan pemalak TKI jika mereka kau anggap sebagai pahlawan devisa bagi Negara. Salam manis buat para pengelola negeri, dan juga mereka yang suka jalan-jalan keluar negeri untuk menghabiskan devisa uang pajak yang telah berbentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Friday, November 12, 2010

Mengenal Diri


Mengenal Diri

Malam tadi (jumat, 11/11/10) pengajian anak-anak Nurul Islam mengangkat tema “mengenal diri”. Tema diambil berdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Isra ayat 70, berikut petikannya;
 
“ Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Qs. Al-Israa (17): 70
Ayat tersebut sebelumnya di tulis dan dibaca secara bersama-sama oleh santri-santri yang memang sudah mulai bisa membaca al-Quran. Kajian ringan dan disampaikan menurut bahasa anak-anak ini diawali dengan pertanyaan, siapa kita, dari mana asal kita, untuk apa kita, dan akan kemana? Mengapa diawali dengan pertanyaan? Ini dilakukan sebagai bentuk pembiasaan kepada santri untuk bertanya, dan mengungkapkan pendapat yang ternyata sangat sulit sekali bagi mereka untuk mau mengemukakan pendapatnya, hal ini tentu saja berkait erat dengan situasi dan kondisi mereka di rumah, di sekolah dan dilingkungannya yang telah sengaja atau tidak mematikan potensi berfikir, saya memaklumi, karena saya pernah hidup dan besar dilingkungan yang sama. Tapi hal ini tentu saja harus rubah, step by step. Malu, takut, takut salah, ngga tahu, diam tak ada jawaban. itu jawaban dan exspresi mereka, sekali lagi karena intinya mereka tidak terbiasa.
Pertanyaan ringan berikutnya dan berkait dengan kehidupan sehari, siapa namamu, namamu punya makna/arti atau orang tuamu memberikan nama dan nama itu menjadi doa dan tujuan. Misalnya, pertanyaan pertama jatuh tepat pada seorang yang bernama miftahul jannah, aku bertanya, kamu tahu apa arti namamu? Dia bilang, penjaga surga. Ya begitu kira-kira, miftahun itu artinya kunci dan jannah itu artinya taman yang sangat indah, taman surga. Jadi namamu kira kira berarti kunci surga. Ku coba untuk lebih mencairkan suasana dengan bertanya, “siapa yang ingin masuk surga?” Sontak semua mengangkat tangan, “oke,  kalau begitu silahkan ambil kuncinya dibelakang? Para santripun menoleh kearah si mifta, begitu panggilannya, merekapun  tertawa riang, sedang si mifta hanya tersipu malu.
Dimulai dari nama, hobi, kebisaan, keahlian (skill) suka dan tidak suka makanan apa, suka atau tidak suka buah apa, suka atau tidak suka pelajaran apa, suka atau tidak suka warna apa. Ternyata manusia itu unik dan satu sama lain berbeda. Dan kita harus mau menerima perbedaan itu. Berbeda dalam penglihatan kita, tapi tidak menurut Allah, semua manusia dimuliakan-Nya kecuali mereka-mereka yang tidak ingin mulia. Siapa dan mengapa? Siapa saja diantara kita yang dengan sengaja mengabaikan pengenalan diri untuk mengenal Tuhannya.
Manusia, kita telah dimuliakannya, tapi maukah kita menjadi mulia? Itu pertanyaan untuk pertemuan selanjutnya, maklum waktu hampir menunjukan jam  21.00, plus ane juga dah ngantuk nih, pulang kerja belum istirahat.




Monday, November 1, 2010

Berkurban; Realisasi Ibadah Ritual dan Sosial

Berkurban; Realisasi Ibadah Ritual dan Sosial

Innalillaahi wainna ilaihi raaji’uun. Musibah/bencana beruntun menimpa negeri tercinta ini. Dari musibah yang disebabkan human error atau human yang error, banjir bandang dan tanah longsor di wasior papua, tsunami yang telah meluluh lantakan mentawai yang tak jauh waktunya dengan meletusnya dengan dahsyat merapi di jogjakarta, pohon-pohon tumbang karena hujan yang disertai angin kencang yang menerpa beberapa daerah seakan meniup tanpa habis nafas, banjir local di Jakarta dan sekitarnya, semua tentu membawa luka yang mendalam bagi mereka yang mengalaminya. Lalu bagaimana kita? Atau para pejabat Negara (DPR) yang mulutnya dengan enteng menggangap sebagai resiko, sampai prostes perjalanan keluar negeri oleh rakyat yang ditanggapi dengan dingin dan tak berempati, baginya jalan-jalan keluar negeri dengan alasan studi banding yang tidak jelas apa yang di bandingkan, adalah kewajiban dan hak mereka yang tak dapat diganggu gugat, sungguh sebuah pemandangan yang kontras, penderitaan rakyat versus foya-foya mereka yang seakan telah hilang nuraninya. Naudzubillaahi min dzalik.

Demikian sekelumit nasib rakyat bangsa ini yang tak habis dirundung derita. Alam seakan murka, Dia (Allah) telah mengerahkan kekuatan dan kekuasaan-Nya ingin menegur dan mengingatkan juga menggugah kesadaran mereka-mereka yang masih punya nurani. Menegur dan mengingatkan mereka-mereka yang telah tergerus nuraninya oleh kilauan materi dan kekuasaan harta. Menggugah hati mereka yang masih sehat nalar dan hatinya untuk melakukan aksi solidaritas dengan bersama-sama meringankan penderitaan sesama ciptaan-Nya sungguh suatu emas yang sangat berharga, dan air yang menyejukan di tengah kehausan karena panasnya padang pasir.

Sungguh dan ini memang bukan sebuah kebetulan. Bagi kita umat muslim khususnya Indonesia yang kini memiliki ratusan ribu penduduknya sedang menuju tanah suci mekah al-Mukarramah dan mandinah al-munawarah untuk menunaikan ibadah haji dan umrah sekaligus melengkapi rukun islam yang ke-lima. Berkait erat dengan pelaksanaan ibadah haji ummat Islam di dunia diberikan sebuah pelajaran besar dan sangat berharga yaitu berkurban.

Berkurban secara syar’I adalah mengikuti jejak Nabi Ibrahim as yang sangat dianjurkan oleh baginda tercinta Muhammad SAW. Agar setiap ummatnya yang mampu, berkecukupan secara materi dengan tulus ikhlas sebagai  mana Nabi Ibrahim as, mencontohkan sikap cinta dan ikhlasnya atas nikmat Allah yang dimiliki untuk dikorbankan. Dalam pesan cinta-Nya Allah SWT berfirman:

1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah[1605].
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus[1606].

[1605] Yang dimaksud berkorban di sini ialah menyembelih hewan Qurban dan mensyukuri nikmat Allah.[1606] Maksudnya terputus di sini ialah terputus dari rahmat Allah.

Secara syar’I, sekali lagi saya katakan dan berdasarkan pesan cinta-Nya kepada kita semua, berkurban adalah memotong hewan kurban dan dagingnya diberikan kepada mereka-mereka yang membutuhkannya. Tak terlepas dari itu berdasarkan makna secara umum dan khusus sebagai mana yang kita pahami. Berkurban mempunyai makna yang sangat luar biasa, sebagai mana pernah di contohkan oleh nabi Ibrahim as. Karena pesan Tuhan ia bersedia dengan tulus dan ikhlas (meski dalam cerita sejarah sempat terjadi keraguan karena bisikan Iblis, laknatullahi alaihi) harta tercinta satu-satunya yang beliau idam-idamkan sejak puluhan tahun, Ismail, putera tercintanya harus beliau korbankan, dalam arti disembelih, sebagai mana banyak keyakinan masyarakat zaman itu. Allah, hanya memberikan ujian iman kepada Ibrahim, ia tidak menyembelih Ismail, melainkan seekor domba, Allah yang menggantinya, karena dalam Islam tidak mengenal persembahan darah manusia, atau hewan, Allah berfirman:


“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”

Untuk masa kini hendaknya kita tak hanya sekedar ritual mengikuti ajaran dalam sejarah, tetapi hendaknya kita mampu memaknai dan merealisasikan makna berkurban dalam arti yang lebih luas, yang berhubungan erat dengan kehidupan social, relationship, friendship, brother ship,  sesama ummat manusia, sebuah pesan yang mulia dan merupakan bukti cinta-Nya kepada kita, mengingatkan dengan berbagai macam cara, dan kini salah satunya dengan  bencana alam. Sungguh penulis yakin sekali tidak ada manusia yang mau menerima penderitan semacam itu. Tapi, jika kita mau memaknai hidup ini dari pesan yang pernah disampaikan-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 156:

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".

Innalillaahi wainna ilaihi raaji’uun, semua milik Allah, dan semua akan kembali pada-Nya, jika kita pahami ayat ini sebenarnya kita ini nothing, lalu Allah beri something, karena something itulah kita bisa mampu mencipta dan berkreasi, anything dan everything, tapi tetap, setelah itu kita kembali lagi, nothing. Namun apakah setelah kita dibekali something saat hadir di dunia lalu kita kembali lagi pada-Nya dalam kondisi nothing? Tidak, jangan sampai itu terjadi, sungguh kita termasuk makhluk-Nya yang merugi jika saat kembali pada-Nya dalam keadaan nothing.

Nah agar kita tidak kembali nothing saat  dipanggil menghadap-Nya nanti, maka something ini harus kita maksimalkan sehingga membuahkan anything dan everything yang sesuai dengan apa maksud-Nya Dia mencipta kita yaitu:


“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Berkurban, sebagaimana yang dicontohkan baginda Ibrahim as. merupakan satu bentuk ibadah ritual kepada-Nya, ibadah yang di dasarkan pada kemurnian keyakinan (aqidah) dan ketaatan (cinta) pada-Nya. Sebagai mana Ibrahim, cintanya kepada Tuhan melebihi cinta dari apa yang ia miliki (lalu bangaimana dengan kita?), pemahamannya akan makna kalimat Innalillaahi wainna ilaihi raaji’uun, telah begitu mengakar dalam dirinya, karena ia tahu dirinya nothing tapi ia tidak ingin tetap nothing, ia harus anything dan everything, maka pengurbanan dalam arti “melayani Tuhan” dalam bahasa keyakinan teman saya. Melayani Tuhan dengan melayani hamba-hamba-Nya yang membutuhkan pelayanan. Bukan melayani Tuhan dalam arti yang sebenarnya. Karena Allah tak butuh manusia, dan Dia tidak butuh pelayanan manusia, Dia tetap Tuhan walau tanpa manusia.

Yang Dia inginkan dari manusia kepada manusia yang lainnya seperti; manusia yang kuat berkurban untuk yang lemah, yang kaya menolong yang miskin, yang pintar mengajarkan yang belum pintar, yang cerdas memberi contoh yang baik, yang tidak tertimpa bencana/musibah menolong saudaranya yang terkena musibah, selain kepada sesama manusia Dia juga meminta manusia menjaga alam sekitar/lingkungan tempatnya hidup. Itulah bentuk pelayanan untuk-Nya.

Maka saat inilah waktu yang tepat bagi kita untuk berkorban bukan, hanya berkurban secara syar’I tetapi secara tapi mampu berkurban secara maknawi, berkurban untuk meringkankan beban dan penderitaan saudara-saudara kita yang membutuhkan, dalam bentuk tenaga, harta, pemikiran bahkan walau hanya dengan doa. Berkurban sebagai realisai iman kepada-Nya. Wallaahu a’lam.