Tuesday, October 27, 2009

Agama dan Politik

Agama dan Politik;
Sekedar celoteh iseng-isengan

Agama dan Politik
Agama dan politik merupakan satu hal yang berbeda jika dilihat dari sisi definisi. Tapi agama dan politik bisa bagai dua sisi mata uang, bersatu tapi tidak bertemu. Agama mengajarkan keshalehan pribadi dan sosial, sedang politik hingga saat ini dan dalam realitasnya mengajarkan siasat, strategi, lobi, yang berinti pada kekuasaan. Ketika orang telah berbicara kekuasaan, dominasi mayoritasnya adalah nafsu serakah, keinginan untuk berkuasa. Jika hal ini yang terjadi maka kesalehan pribadi dan sosial akan terpinggirkan, demi kekuasaan, bukankah ini yang terjadi di dunia ini? Dalam politik kita mengenal kiasan yang aneh tapi nyata, ”tidak ada kawan abadi yang ada adalah kepentingan abadi”. Jika berbicara kepentingan ini juga berkait erat dengan kekuasaan. Demi kekuasaan lawan bisa jadi kawan

Politik Agama
Politik agama, saya memahami politik agama sebagai usaha memasukan nilai-nilai agama dalam kehidupan berpolitik. Orang yang berpolitik dengan agama tujuannya bukan kekuasaan tetapi untuk memperjuangkan kesejahteraan hidup konstituennya, yaitu ”rakyat”, golongan manusia yang paling tersingkir hidupnya dalam perang para politisi untuk kekuasaan. Memasukan nilai-nilai agama dalam perpolitikan dinegara ini mungkin pernah ada (pada jaman dahulu) sekaligus dicontohkan oleh politisi yang beragama. Tapi Politik agama akan sangat memiliki arti yang sangat mengerikan jika agama dijadikan object politik/ politisasi agama. Ketika term-tem agama dijual hanya untuk mendapatkan dukungan kekuasaaan maka hilanglah ruh keagamaan itu sendiri yang pada intinya mengajarkan manusia pada keshalehan sosial dan ritual. Sebelum berkuasa panji-panji agama senantiasa berkumandang dari bibirnya, tetapi setelah mendapatkan kuasa, tak sedikitpun nilai-nilai agama merasuk dalam dirinya, malah tingkah laku korup yang akhirnya menjerat dirinya dalam tudingan hukum sosial.

Agama Politik
Sedang agama politik, bagai satu keping mata uang, walau satu tapi tak bisa bertemu. Walau tak bertemu tetapi bisa mempunyai hubungan dan keterikatan yang erat satu sama lain. Misalnya orang yang mendewa-dewakan politik sebagai jalan hidup dan pemikirannya, bisa dikatakan orang tersebut telah menjadikan politik sebagai agamanya dan kekuasaan menjadi Tuhannya. Hal ini sesuai dengan pengertian agama secara umum yang berarti pegangan hidup, aturan, ajaran, ketaatan dan lain-lain.

Demikianlah celoteh singkat, mudah-mudahan ada manfaatnya. Wallaahu a’lam

Tuesday, October 20, 2009

Pengemis itu Malas, Benarkah? Lanjutan


(gambarhttp://www.pasarkreasi.com/dirmember/00001/doermogati/content/content-1796-20081112-6-34-86/small/mengemis_1796_s.jpg)

Pengemis itu Malas, Benarkah?
(Lanjutan)

Dari tulisan terdahulu sebenarnya saya hanya ingin mempertanyakan apakah tepat kata malas dilabelkan pada para pengemis? karena jika kita lihat kamus bahasa indonesia malas diartikan dengan tidak mau bekerja atau melakukan sesuatu, jika kita lihat kenyataan pengemis itu bekerja dan melakukan sesuatu, lalu dimana malasnya? Coba kita pikirkan lagi. (lihat juga ”mengemis haram”, di http://aagun2010.multiply.com/journal/item/129

Pengemis
Jika kita lihat dari sudut bahasa yang dimaksud dengan mengemis adalah meminta minta. Secara umum dapat kita pahami setiap peminta-minta adalah pengemis. Tapi tentu saja jika kita pahami seperti ini banyak orang akan menolaknya mentah-mentah. Tetapi jika kita khususnya pengertiannya pengemis adalah orang yang meminta-minta, biasanya dengan menampilkan sosok khusus yang telah menjadi brand image/trade mark mereka dengan tujuan mengambil hati, menggugah orang agar memberikan sesuatu/uang kepada mereka. Mengemis dalam agama yang saya pahami bukanlah perbuatan yang mulia, tidak juga hina, kecuali mereka-mereka yang memang sengaja menjadikannya sebagai profesi untuk meraup kekayaan, jelas ini perbuatan yang sangat hina.

Macam-macam Pengemis
Mengapa mengemis? Mengemis bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, cacat fisik atau mental (rendahnya harga diri). Dan yang menjadi faktor dominan adalah mental yang berhubungan dengan harga diri. Sebab banyak orang yang miskin lagi cacat fisiknya tetapi karena mentalnya kuat/memiliki harga diri, mereka tak mau menjadi pengemis. Kini sebagaimana telah kita ketahui bersama mengemis sudah dijadikan profesi, pekerjaan untuk menghidupi bahkan memperkaya diri. Selain itu faktor pemicu lainnya adalah tingginya rasa berbagi dan belas kasih sebagian besar masyarakat Indonesia, karena didorong faktor keyakinan/agama, ini merupakan lahan subur bagi tumbuh kembang dan beranak-pinaknya para pengemis. Rendahnya kesadaran berbagi untuk meningkatkan kualitas jati diri sebagai hamba Allah yang mulia bisa juga menjadi faktor penyebab pemiskinan diri ini.

Dari pernyataan tersebut kita dapat kita mengklasifikasikan sebagai berikut; pertama; pengemis permanen penyebabnya adalah faktor mental, mengemis dijadikannya sebagai mata pencaharian, pengemis musiman terjadi karena faktor musibah/bencana alam ini disebabkan tidak adanya ketrampilan lain yang memadai dan ini terjadi di negeri ini saat kemarau panjang tiba melanda beberapa daerah pertanian, ke tiga; pengemis yang memang saat itu dia membutuhkan bantuan (terpaksa).

Apa Yang Telah Kita lakukan?
Tulisan ini tak bermakna dan berakibat apa-apa jika kita hanya mendiskusikannya, langkah minimal yang harus kita lakukan adalah tidak sekedar memberi untuk memutus jaringan atau berilah secara selectif mereka-mereka yang benar-benar membutuhkan, memang sulit untuk memilah dan menahan iba terhadap penderitaan yang mereka tampakan, tapi mau tidak mau hal ini kita harus lakukan untuk memberi pendidikan kepada mereka. Tak bermaksud melarang untuk berbagi karena berbagi merupakan bagian integral dari ajaran yang saya yakini dan itu adalah hak bagi setiap mereka yang mampu berdasarkan ajaran agama yang saya pahami, tetapi memberilah untuk meningkatkan kualitas ummat.

Anehnya ketika ada ”tetangga” sebelah kita yang mau berbaik hati, berbagi, membantu makan dan pendidikan mereka, sehingga ada diantara mereka yang tertarik dengan kebaikannya dan mau mengikuti keyakinannya, munculah reaksi keras penolakan dan permusuhan, tuduhan, cacian, makian bahkan sikap-sikap permusuhanpun dikobarkan dengan lontaran semangat ”Allaahu Akbar”, pada saat ceramah, diskusi, tabligh akbar dan lain-lain, aneh? sungguh sebuah ini sebuah pembodohan yang amat nyata. Marilah introspeksi diri.

Peran Pemerintah dan Ulama
Pemerintah dan para anggota yang terhormat sesuai dengan amanah pancasila dan UUD ’45 wajib memberikan pendidikan dan perlindungan kepada kaum lemah, miskin (dhuafa’) dan kita wajib memberikan dorongan agar mereka mau konsisten menjalankan pancasila dan UUD ’45. Peran kaum agamawan/ulama (kyai, ustadz/zah) jangan hanya menyapaikan ceramah/dakwah dan bertarif mahal, sehingga tak menjangkau level dhuafa, atau dzikr diadakan secara akbar dengan biaya yang tidak sedikit tentunya, sedang kemiskinan, kebodohan dan pembodohan umat yang semakin jelas dihadapan mata, lihatlah demo/ekspoitasi kemiskinan pada saat pembagian zakat yang menimbulkan banyak korban, sungguh menyedihkan, ironis dan memprihatinkan.

Saya yakin masih ada (walau hanya sedikit) teman/sahabat atau para kyiai, ustadz/zah yang sadar dan tahu akar dari permasalahan ini sehingga berperan aktif ditengah masyarakat miskin/dhu’afa, berusaha sedikit untuk mengentaskan kebodohan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menumbuhkan, meningkatkan semangat dan harga diri serta kemuliaan sebagai hamba Allah, inilah pangkal utamanya. Semoga bermanfaat, wallaahu a’lam

Monday, October 19, 2009

Pengemis itu Malas, Benarkah?

Pengemis itu Malas, Benarkah?

Apa yang hadir dibenak kita ketika seseorang menyebutkan kata pengemis? Berikut jawaban teratas yang akan muncul; pemalas, mencari yang mudah, tak berani melawan tantangan hidup dan tidak kreativ, benarkah demikian? Setelah melihat dan memperhatikan, memahami dan mencoba merasakan, ternyata semua itu tidak selalu benar, dan yang benar menurut saya adalah, ikuti pemaparannya berikut ini.

Pengemis = Pemalas?
Apasih malas itu? Malas adalah tidak mau bekerja atau melakukan sesuatu. Apakah pengemis itu malas? Lihat di jalan-jalan raya pinggir kota jakarta semisal Bogor, Bekasi, Depok atau tangerang, banyak pengemis mulai ”menjajakan” dirinya dipagi hari berbarengan dengan karyawan swasta, hal ini tentu saja mengalahkan sebagian pegawai negeri ini. Mereka rela duduk dari pagi sampai siang, atau berjalan mengelilingi sudut-sudut kota, perumahan, pasar dengan jarak yang tentunya tidak dekat untuk mencari orang yang mau membeli rasa ibanya, sebagian mereka rela melawan panasnya terik mentari, jika kita menyaksikan ini, malaskah mereka? Mereka tidak berdiam diri, mereka melakukan suatu kegiatan. Malaskah mereka?

Pengemis = Mencari yang mudah
Sungguh bekerja menjadi pengemis bukanlah hal yang mudah, penuh tantangan dan daya kreatifitas tingkat tinggi. Saya yakin saya tidak akan mampu melakukannya, atau ada diantara para pembaca yang mau mencoba? Ha...ha...ha...siapa berani?

Pengemis = Tak berani melawan tantangan hidup?
Benarkah? Pengemis itu orang yang sangat berani melawan tantangan hidup, benarkah? Pertama ia membuang jauh-jauh rasa malunya. Mengiba bukanlah perbuatan yang mudah perlu kesungguhan dan tentu saja hal ini merupakan tantangan tersendiri. Resiko mengemis adalah cacian, cibiran, hinaan, makian resikonya ya diusir, bukankah itu tantangan? Resiko selanjutnya adalah trantib/Polisi Pamong Praja, yang pada moment-moment tertentu akan siap menangkap mereka, bukankah itu tantangan? Siapa diantara kita mau dan bisa ”berperan” seperti mereka, berani menerima tantangan?

Pengemis = Tidak kreatif
Setelah mencoba melihat dunia mereka, aku hanya bisa tersenyum. Pengemis itu sungguh luar biasa kreatifnya. Baju dibuat lusuh dan compang-camping, mampu memainkan peran mengiba untuk menarik perhatian dan mempengaruhi rasa kasihan orang disekitarnya, agar mau memberi dan berbagi. Mereka memoles diri dengan berbagai aksesoris yang membuat kesan kesakitan dan penderitaan, tidakkah itu kreatif?

Jika mereka mampu berperan melakukan hal seperti ini untuk mengais iba para konsumennya sehingga para konsumennya mau membeli ”kreatifitas” yang mereka tampilkan, malaskah mereka? Jadi ketika diri ini melabel para pengemis itu malas, tentu ini perlu kita petimbangkan lagi. Bandingkan, maaf dengan diri kita sebagian pegawai negeri, swasta atau ”orang-orang yang terhormat” di negeri ini. Bersambung

Thursday, October 8, 2009

Kecenderungan dan Keterpaksaan

Kecenderungan dan Keterpaksaan
(Sekedar introspeksi diri)

Ketika jalan-jalan sepi, pengendara cenderung untuk mempercepat lajunya. Ketika jalanan macet para pengendara terpaksa menunggu giliran untuk berjalan, biasanya ketika suasana ini terjadi yang ada hanya umpatan dan makian, suasana diri dan lingkungan menjadi panas, tidak nyaman. Ketika ada pembagian uang hampir semua orang cenderung ingin berada pada barisan paling depan, agar ia tidak kehabisan. Terjadilah berbagai musibah kemanusiaan karena uang pada saat bulan yang penuh dengan kemuliaan (ramadhan). Jika saat itu ada dibelakang, terpaksa karena datang terlambat, sungguh tragis kekayaan, kedermawanan dan kemiskinan yang dipertontonkan. Lain hal saat ibadah (shalat) banyak orang cenderung ingin dibelakang, dan kalau paling belakang, terpaksa karena datang datang terlambat.

Ketika antri makanan banyak orang cenderung berada pada posisi terdepan, agar tidak kehabisan sekaligus bisa mengambil makanan lebih banyak, terserah yang lain, tak peduli amat yang penting aku kenyang. Ketika berada pada posisi paling belakang, terpaksa karena datang terlambat tapi diri khawatir takut kehabisan. Ketika sedang menunggu kendaraan umum kita cenderung ingin duduk santai, jika kondisi ramai rela berebut untuk mendapatkan kursi dan nyaman, bahkan tak peduli ada orang yang lebih membutuhkan. Tapi ketika kursi tak dapat dan harus berdiri sesak, terpaksa yang penting bisa pulang.

Ketika suatu hal menguntungkan diri sendiri munculah kecenderungan, dan keterpaksaan mengikuti ketika kecenderungan terkalahkan oleh kecenderungan orang lain.
Yang menarik dari kecenderungan dan keterpaksaan adalah, hampir semua manusia cenderung tidak mau meninggal/mati karena takut belum banyak yang dinikmati dari dunia ini, tapi kalaupun akhirnya harus mati juga, ya terpaksa, karena diri ini bukan apa-apa, tak punya kuasa apa-apa untuk menolak, maka dari itu siapkanlah kecenderungan diri yang lebih baik dari kecenderungan manusia biasa pada umumnya, agar tak pernah ada keterpaksaan yang membawa derita. Mudah-mudahan bisa dipahami. Wallaahu a’la.