Tuesday, October 20, 2009

Pengemis itu Malas, Benarkah? Lanjutan


(gambarhttp://www.pasarkreasi.com/dirmember/00001/doermogati/content/content-1796-20081112-6-34-86/small/mengemis_1796_s.jpg)

Pengemis itu Malas, Benarkah?
(Lanjutan)

Dari tulisan terdahulu sebenarnya saya hanya ingin mempertanyakan apakah tepat kata malas dilabelkan pada para pengemis? karena jika kita lihat kamus bahasa indonesia malas diartikan dengan tidak mau bekerja atau melakukan sesuatu, jika kita lihat kenyataan pengemis itu bekerja dan melakukan sesuatu, lalu dimana malasnya? Coba kita pikirkan lagi. (lihat juga ”mengemis haram”, di http://aagun2010.multiply.com/journal/item/129

Pengemis
Jika kita lihat dari sudut bahasa yang dimaksud dengan mengemis adalah meminta minta. Secara umum dapat kita pahami setiap peminta-minta adalah pengemis. Tapi tentu saja jika kita pahami seperti ini banyak orang akan menolaknya mentah-mentah. Tetapi jika kita khususnya pengertiannya pengemis adalah orang yang meminta-minta, biasanya dengan menampilkan sosok khusus yang telah menjadi brand image/trade mark mereka dengan tujuan mengambil hati, menggugah orang agar memberikan sesuatu/uang kepada mereka. Mengemis dalam agama yang saya pahami bukanlah perbuatan yang mulia, tidak juga hina, kecuali mereka-mereka yang memang sengaja menjadikannya sebagai profesi untuk meraup kekayaan, jelas ini perbuatan yang sangat hina.

Macam-macam Pengemis
Mengapa mengemis? Mengemis bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, cacat fisik atau mental (rendahnya harga diri). Dan yang menjadi faktor dominan adalah mental yang berhubungan dengan harga diri. Sebab banyak orang yang miskin lagi cacat fisiknya tetapi karena mentalnya kuat/memiliki harga diri, mereka tak mau menjadi pengemis. Kini sebagaimana telah kita ketahui bersama mengemis sudah dijadikan profesi, pekerjaan untuk menghidupi bahkan memperkaya diri. Selain itu faktor pemicu lainnya adalah tingginya rasa berbagi dan belas kasih sebagian besar masyarakat Indonesia, karena didorong faktor keyakinan/agama, ini merupakan lahan subur bagi tumbuh kembang dan beranak-pinaknya para pengemis. Rendahnya kesadaran berbagi untuk meningkatkan kualitas jati diri sebagai hamba Allah yang mulia bisa juga menjadi faktor penyebab pemiskinan diri ini.

Dari pernyataan tersebut kita dapat kita mengklasifikasikan sebagai berikut; pertama; pengemis permanen penyebabnya adalah faktor mental, mengemis dijadikannya sebagai mata pencaharian, pengemis musiman terjadi karena faktor musibah/bencana alam ini disebabkan tidak adanya ketrampilan lain yang memadai dan ini terjadi di negeri ini saat kemarau panjang tiba melanda beberapa daerah pertanian, ke tiga; pengemis yang memang saat itu dia membutuhkan bantuan (terpaksa).

Apa Yang Telah Kita lakukan?
Tulisan ini tak bermakna dan berakibat apa-apa jika kita hanya mendiskusikannya, langkah minimal yang harus kita lakukan adalah tidak sekedar memberi untuk memutus jaringan atau berilah secara selectif mereka-mereka yang benar-benar membutuhkan, memang sulit untuk memilah dan menahan iba terhadap penderitaan yang mereka tampakan, tapi mau tidak mau hal ini kita harus lakukan untuk memberi pendidikan kepada mereka. Tak bermaksud melarang untuk berbagi karena berbagi merupakan bagian integral dari ajaran yang saya yakini dan itu adalah hak bagi setiap mereka yang mampu berdasarkan ajaran agama yang saya pahami, tetapi memberilah untuk meningkatkan kualitas ummat.

Anehnya ketika ada ”tetangga” sebelah kita yang mau berbaik hati, berbagi, membantu makan dan pendidikan mereka, sehingga ada diantara mereka yang tertarik dengan kebaikannya dan mau mengikuti keyakinannya, munculah reaksi keras penolakan dan permusuhan, tuduhan, cacian, makian bahkan sikap-sikap permusuhanpun dikobarkan dengan lontaran semangat ”Allaahu Akbar”, pada saat ceramah, diskusi, tabligh akbar dan lain-lain, aneh? sungguh sebuah ini sebuah pembodohan yang amat nyata. Marilah introspeksi diri.

Peran Pemerintah dan Ulama
Pemerintah dan para anggota yang terhormat sesuai dengan amanah pancasila dan UUD ’45 wajib memberikan pendidikan dan perlindungan kepada kaum lemah, miskin (dhuafa’) dan kita wajib memberikan dorongan agar mereka mau konsisten menjalankan pancasila dan UUD ’45. Peran kaum agamawan/ulama (kyai, ustadz/zah) jangan hanya menyapaikan ceramah/dakwah dan bertarif mahal, sehingga tak menjangkau level dhuafa, atau dzikr diadakan secara akbar dengan biaya yang tidak sedikit tentunya, sedang kemiskinan, kebodohan dan pembodohan umat yang semakin jelas dihadapan mata, lihatlah demo/ekspoitasi kemiskinan pada saat pembagian zakat yang menimbulkan banyak korban, sungguh menyedihkan, ironis dan memprihatinkan.

Saya yakin masih ada (walau hanya sedikit) teman/sahabat atau para kyiai, ustadz/zah yang sadar dan tahu akar dari permasalahan ini sehingga berperan aktif ditengah masyarakat miskin/dhu’afa, berusaha sedikit untuk mengentaskan kebodohan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menumbuhkan, meningkatkan semangat dan harga diri serta kemuliaan sebagai hamba Allah, inilah pangkal utamanya. Semoga bermanfaat, wallaahu a’lam

No comments: