Malu itu Sebagian dari Iman
Jamrud terlihat bingung, air mukanya nampak memendam
sejuta asa yang tidak terungkap. Kasihan sekali dia, ungkapku dalam
hati. “Rud! kenapa melamun?” tanyaku mengagetkannya sehingga
menghamburkan lamunannya. “Astaghfirullaahal’azhim, lagi-lagi kamu,
Pang!, ngagetin aja sih”, balasnya sedikit kesal pada temannya Jampang.
“Aku lihat dari tadi kamu melamun saja, ada apa?” tanya Ku tegas,
“baru diputusin cewek ya?”, mencoba meledeknya. “kaga” jawabnya yakin,
“cewek dari mana mutusin gua, dari hongkong?” lanjutnya sambil bercanda.
“ha….ha….ha…”, tawaku renyah.
“Jadi apa sebenarnya isi lamunanmu tadi?” Tanya Ku, “Begini bro” Jamrudpun bercerita:
“Beberapa minggu yang lalu pak ustadz dipengajian Ku pernah berkata,
“Alhayaa u minal iman” yang artinya menurut beliau, “malu itu bagian
dari iman. Namun hari ini guru agama Ku di sekolah, mengatakan hal yang
beda katanya, “untuk apa malu, malu tidak akan pernah membuat mu maju”,
begitu katanya. Sekarang aku bingung mana sebenarnya yang benar dari
kedua guru Ku tersebut.
“Apa kamu sudah coba klarifikasi, atau apakah kamu tidak menyimak
kedua gurumu itu berkata dalam konteks seperti apa?” Tanya Ku mencoba
solving problem. “kaga” jawabnya pasti. “Lha terus ngapain aja saat kamu
mendapatkan nasihat mereka”, mencoba mengarahkan jalan pemikirannya.
“Tidur, tapi tidak tidur beneran sih, cuma mata ini berat sekali dibuka,
tapi telingaku tetap memantau”, jawabnya ngeles. “Ya, pantesan aja,
kaga nyambung, tidur!
Memang kita sering mendengar dua kata tersebut, dan jika kita tidak
memahami konteksnya saat kalimat tersebut terungkap maka bingunglah
kita. Kasus yang di alami Jamrud sebenarnya tidak perlu dilamunkan kalau
ia mengikuti alur kedua penjelasan gurunya.
Konteks pertama berinti pada pesan, kita harus malu jika melakukan
tindakan yang menyimpang dari ajaran Allah. Selain itu misalnya
berzinah,meminum-minuman yang haram, mengkonsumsi narkoba dan lain-lain.
Selain itu juga kita harus malu sama Allah kalau sampai menyakiti
sesama makhluk ciptaan-Nya. Kalau kita memegang prinsip iniberarti kita
harus menjauhi apa yang dibenci Allah.
Sedang konteks yang kedua berinti pada pesan, membuang sikap malu
yang membuat diri tidak mampu mengungkapkan/merealisasikan dalam
kehidupan potensi besar yang ada dalam diri kit, sebagai anugerah dan
nikmat dari Allah SWT. Dengan “tidak punya malu” dalam arti percaya diri
untuk, percaya bahwa setiap manusia dalam kondisi maaf cacat sekalipun
punya kelebihan. Pesan ini meminta kita untuk meredam kelemahan dan
meninggikan potensi besar yang masih terpendam. Dan hal tersebut adalah
perintah Allah.
Nah, kawans makanya jangan kalau mendengar sesuatu jangan
setengah-setengah, sebab namanya juga setengah, kan kalau setengah
berarti belum penuh, kalau belum penuh ya belum sempurna, maka dari itu
sempurnakanlah dengan memberikan attention/perhatian dan focus agar
tidak menjadi orang yang setengah. He…he…he…