Monday, November 9, 2009

Cicak versus Buaya dan Si Kancil dan Buaya


Cicak Versus Buaya serta Si kancil dan Buaya
Sebuah Simbol Negeri Simbol

Istilah ini menjadi sangat populer akhir-akhir ini, kepopulerannya tentu saja akibat peran media massa yang gencar memberitakannya. Bebrapa terbitan Koran tempo yang saya baca misalnya (maaf bukan promosi), akhir-akhir ini semakin gencar mengungkap kebenaran cerita Cicak versus buaya. Ungkapan populer dari seorang perwira tinggi polisi di negeri ini (walau sudah diklarifikasi oleh petinggi yang lainnya disertai permohonan maaf, dan meminta tak menggunakan lagi istilah ini). Entah apa yang mendasarinya, tapi jika kita mau berfikir ungkapan ini mewakili realita dari dua institusi yang kini sedang ramai diliput media dan menjadi perbincangan banyak orang, Polisi plus Kejaksaan Agung versus KPK, buaya versus cicak.

Cicak untuk KPK dan Buaya untuk Polisi. Cicak dan Buaya menggambarkan dua symbol kelemahan karena kecil dan kekuatan karena besar. Dalam dunia fauna cicak hidup dan makanannya serangga-seranggga kecil. Tak ada yang takut padanya karena bentuknya yang kecil, walau ada yang jijik dan sebel karena bentuk atau suaranya yang sepertinya meledek, cek...cek…cek. Ia tinggal di darat (kering, ingat kering). Ia tidak mengganggu manusia atau merugikannya secara langsung, sampai saat ini tak ada berita yang menyatakan orang mati karena serangan dan gigitannya. Jika sang Komisaris Jenderal mengungkap KPK dengan symbol cicak, inilah kenyataannya. Kita bisa memahami apa maksudnya.

Lalu bagaimana dengan buaya? Ia dikenal dan digolongkan sebagai sosok binatang buas, dari tatapan mata dan gigi taringnya menunjukan ia tergolong makhluk pemakan daging. Ia tinggal di air (basah, ingat basah), menggangu manusia? Tentu saja, saat dia lapar atau ada orang yang ”memasuki habitanya”, air, sungai atau muara, bahkan laut. Kata buaya dalam istilah bahasa Indonesia mempunyai konotasi negatif, merugikan satu golongan manusia dengan tipu daya, misalnya lelaki buaya atau buaya darat. Jika sang Komisaris Jenderal mengungkap institusinya dengan symbol buaya, ini juga bisa jadi kenyataannya dan kita bisa memahami apa maksudnya.

Namun jika kita simak kehidupan keduanya dalam dunia fauna, alangkah tepatnya kata-kata sang Komisaris Jenderal itu. Itulah institusi kepolisian negeri ini, senang atau tidak, suka atau marah, bak sarang buaya. Jika mangsa masuk dalam areanya, kecil kemungkinan akan selamat, kecuali jika sang mangsa ”cerdas”, mungkin bisa selamat dari gigitannya. Masih ingat cerita pengantar tidur dari buku bacaan yang setia menemani saat kita duduk di sekolah dasar? si Kancil dan buaya. Si kancil, binatang kecil yang ingin menyeberang sungai, tapi apa daya sungai dipenuhi oleh buaya-buaya yang lapar. Tapi berkat kecerdikannya, sang kancil selamat, ia berhasil memperdaya ratusan buaya. Fenomena dalam cerita si kancil dan buayapun bisa menjadi cermin atau gambaran real kondisi satu institusi penegakan hukum negeri in.

Kini setelah pimpinan ”cicak” yang tersisa masuk dalam jeratan ”buaya” dan konco-konconya, saat warisan-warisan kebusukan orde baru mulai terungkap, dengan alasan yang sangat tidak masuk akal dan berubah ubah berbau dominasi arogansi dan kekuasaan. Tapi kini masalah menguak, semua orang terhenyak menyaksikan sandiwara yang mempertontonkan kebodohan para sebagian kecil pejabat yang takut reputasinya melorot. Peran besar media masa patutlah diacungi jempol. Menyaksikan sandiwara ini penulis teringat pepatah lama yang mengatakan "sepanda-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga”, atau ”serapat-rapatnya bangkai disimpan, baunya tercium juga”.

Alhamdulillah, dukungan deras mengalir dari segenap penjuru mulai mantan presiden sampai rakyat jelata, entah dengan hati ikhlas demi membela kebenaran atau dengan embel-embel dibelakangnya, yang pasti korupsi yang telah mendarah daging di negeri ini, bangkai peninggalan kebusukan ”orde baru dan antek anteknya” telah menjadi virus mematikan dan menyebarkan penderitaan rakyat seakan tak berujung pangkal, semua disebabkan mandulnya ”pisau-pisau” dari unsur-unsur penegakan hukum negeri ini. Siapa kuat dia selamat, karena keserakahan hukumpun tergadai. Semoga kejadian ”cicak versus buaya” ini semakin membuka mata hati seluruh rakyat Indonesia yang telah lama merindukan negeri yang damai dan sejaktera.

Tulisan ini merupakan bentuk dukungan untuk Pembebasan Kebenaran dari Belenggu Kezhaliman. Tulisan ini sebagai bentuk dukungan untuk Indonesia Bersih dan Rakyat Sejahtera, tanpa korupsi dengan berbagai macam bentuknya, kecil atau besar, korupsi adalah bahaya laten, jahat dan membahayakan, Allaahu Akbar!!!.

Tuesday, November 3, 2009

Uang dan Pengaruhnya


(gambar: treest.wordpress.com/2009/03/18/uang-bahagia)

Uang dan Pengaruhnya

Dahsyat! Sambil mengeleng-gelengkan kepada, luar biasa!, begitulah kira-kira ungkapan ketika kita mau memikirkannya, astagfirullah, begitulah ketika kita menyaksikan fenomena yang tak tersadari dari sebuah kata yang hanya terdiri dari 4 huruf satu bunyi, Uang. Siapa mau?

Karenanya ada lagu yang tercipta. karenanya peradaban manusia semakin berkembang. Karenanya pula konflik tercipta dan kehancuran melanda. Orang menjadi senang jika memilikinya, juga ada gila karena tak sepeserpun hadir dikantongnya. Bunuh diri karena kebanyakan atau kekurangnya kerap kita lihat dan dengar dari berita. Bernilai positif dan negatif, bagai dua sisi mata uang sebagaimana ia dicipta.

Sebuah potongan syair lagu yang pernah top di tahun 80an misalnya, ”...uang bisa bikin senang tiada kepalang uang bikin mabuk tiada kepayang, lupa sahabat, lupa kerabat, saudara, mungkin juga lupa ingatan...”. atau sang raja dangdutpun dalam syairnya pernah mengungkap, ”semua orang mencarinya, dimana rupiah berada walaupun harus nyawa sebagai taruhannya banyak orang yang rela cuma karena rupiah. Tiada orang yang tak suka dengan yang bernama rupiah ...”. begitu kira-kira, tologn dibenarkan jika salah mengutip.

Dari potongan-potongan syair tersebut nampak kepada kita realita dari dahsyatnya pengaruh uang pada kehidupan. Begitu mempesonanya uang sehingga membuat diri lupa daratan. Penghargaan yang berlebihan atasnya telah membuat banyak manusia menderita. Penderitaan yang dibuat oleh kebodohan karena pendewaan. Ikatan keluarga, pernihakan, saudara, terpecah karena (uang) warisan, putus sahabat bisa karena uang, bahkan peperangan antar negara bisa terjadi karenanya, uang telah menjadi tuhan.

Apa yang kau cari? Pergi pagi pulang petang. Menguras pikiran dan tenaga serta banting tulang. Siang menjadi malam, malam menjadi siang, ada yang rela menjual diri bahkan kehormatan, tak lain untuk mendapatkan uang. Lalu setelah kita dapatkan, untuk apa? Tak lain dan tak bukan untuk menghilangkan dan memenuhi kebutuhan. Cukup? Selama masih menjadi manusia tak ada kata cukup, kurang? Pastinya, selama dunia materi masih mengikat dan mendominasi.

Hal ini dapat kita saksikan dari fenomena kemaksiatan di negeri ini, ada korupsi, kolus yang semakin marak di negeri ini. Demi uang, ada yang telanjang dan mengatas namakan seni, menghabur-hamburkan uang demi mendapatkan kepuasan sesaat, terjerat dalam lingkaran setan karena judi dan prostitusi, mereka bukan tidak punya uang, mereka banyak uang. Kalau menderita karena tak punya uang boleh dikata wajar, tapi jika sengsara akibat kebanyakan uang, tentu ada sesuatu dibalik itu.

Uraian tersebut seakan menyatakan dalam hidup tak ada aktivitas yang luput dari uang. Dari amal ibadah dan yang bernilai ibadah hingga maksiat yang paling hina sekalipun, peran uang tak bisa dipandang sebelah mata. Misalnya ada diantara kita yang ingin beribadah, tapi dalam prosesnya ada unsur maksiat di dalamnya. Misalnya, seseorang yang ingin menunaikan ibadah haji, kuota terbatas, tapi berkat uang ia bisa mendapatkan peluang melaksanakannya. Dan karena uang juga penyelenggara ibadah haji mempermainkan hamba Tuhan. Fenomena semacam ini membenarkan pepatah yang sangat menyedihkan, ”dengan uang semua lancar bersama uang urusan selesai”, innalillaahi wa inna ilaihi raajiuun.

Inilah kehidupan manusia, dan kita semua ada dalamnya. Kini kita sedang memegang peranan dan dalam peran itu uang menjadi bagian yang tak terpisahkan. Mampukah kita mengendalikan uang, atau malah dikendalikannya? Jika kita mampu mengendalikan uang, insya Allah kebahagiaan akan menyapa, tapi jika sebaliknya penderitaan segera hadir di depan mata, nauudzubillaahi min dzalik. Semoga tulisan bisa menjadi perenungan diri untuk menjadi yang terbaik dalam pandangan-Nya, amiin.

Monday, November 2, 2009

Ketika Ustadz/Kiyai Menjadi Poli tikus dan Selebritis

Ketika Ustadz/Kiyai Menjadi Poli tikus dan Selebritis

Entah, sebenarnya mereka sadar atau tidak akan peran mereka sebagai model ditengah ”kejahilan” ummat sangant berpengaruh ketika media massa (TV) memaparkan akhlak mereka sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Ketika kecacatannya diperlihatkan media, umatpun menjadi bimbang, bingung karena tokoh yang mereka puji-puji selama ini, menjadi bahan menjadi ejekan mereka-mereka yang memang tidak menyukainya sejak awal ketenarannya dengan berbagai alasan tentunya.

Ustadz/Kiyai Berpolitik
Kita bisa lihat beberapa diantara mereka yang mencoba lahan yang satu ini, entah apa yang melandasinya, mungkin saja kemuliaan agama yang diusungnya, tapi bagaimana realitannya. Politik dikenal kotor, licik dan penuh intrik, sehingga ada pendapat yang mengatakan kalau anda ingin menjadi orang baik jauhilah dunia politik, meski penulis sendiri masih kurang sependapat. Ustadz/kiayi berpolitik, selama terpatri kuat dalam dirinya untuk berdakwah, menjadi penyejuk dan pewarna dominan dalam komunitas tersebut sehingga bisa merubah image komunitas ini, bisa menjadi sebuah keharusan. Tapi apa daya ustadz/kiyai juga manusia. Pernak pernik dan tipuan-tipuan halus yang samar menyeret sang ustadz/kiyai dalam kotornya permainan. Berapa puluh orang kiya/ustadz yang ada diparlemen negeri ini? Lalu bagaimana pandangan kebanyakan rakyat Indonesia terhadap media ini? Pudarlah imagenya, ummatpun dibuat terombang ambing dalam ketidak pastian. Sungguh ironis. inikah warisan para nabi?

Ustadz/Kiyai Bak Selebritis
Jika kita mengamati seluk beluk ustadz/kiyai yang sadar atau tidak telah menjerumuskan diri dalam dunia selebritis, ketika media massa, televisi tumbuh bak jamur dimusim hujan boleh dikata sejaka era 90 an lah dan munculnya dai-dai yang menjadi seleb mulai merebak kira-kira tahun 2000anlah. Untuk mendobrak rating beberapa stasiun televisi menggelar acara pemilihan dai-dai bak idol-idolan versi Indonesia. Terlebih saat-saat ramadhan, terlihat sekali persaingan ketat antar stasiun televisi untuk menampilkan ustadz/kyiai yang ”populer” dengan predikat masing-masing, ada ustadz gaul, ustadz cinta, diantara merekapun ada yang menjadi iklan komersil produck-produk konsumtif, ketenaran dan popularitas yang menghapus idealitas. Walau kita juga bisa menyimak tayangan media tv ustadz/kiyai betulan yang memang secara tampil dengan pola academis bukan hiburan.

Demikian halnya bukanlah sesuatu yang terlarang jika ustadz/kiyai masuk dalam dunia selebritis, sekedar mewarnai dengan nilai-nilai Islami. Merubah gemerlap dunia ini menjadi lebih beradab. Tapi apa daya, sekali lagi ustadz/kiyai juga manusia, pernak pernik dan tipuan-tipuan halus lagi samar menyeret sang ustadz/kiyai dalam buayan gemerlap permainan. Pudarlah imagenya, ummatpun dibuat terombang ambing dalam ketidak pastian. Sungguh ironis.

Ustadz/kiayi dalam pandangan masyarakat umum adalah tokoh yang ”suci”, padahal ia bukan ”nabi”, ia manusia biasa yang memang diberikan ”kelebihan” khusus atau karena memang kebetulan saja karena media telah mengangkatnya naik bak selebritis yang ”dipuja”, sehingga ’tarifnyapun mahal tak terjangkau kalangan yang terpinggirkan dari sisi ekonomi. Ketenaran telah membuat mereka lupa akan tugas sucinya sebagai warisan para Nabi. Nilai dakwah yang luhur dan non komersil setelah tenar menjadi komersil, mereka-mereka yang berduit berlomba memintanya menjadi ”penghibur” rasa haus akan nilai-nilai islam. Yang paling menyedihkan dikampung-kampung terpencil penduduk mengumpulkan patungan mengumpulkan uang, demi menghadirkan ustadz/kiyai yang menjadi idola dan pujaan, menyedihkan, inikah warisan para nabi?

Kesimpulan ada pada diri kita masing-masing, mudah-mudahan pesan ini tersampaikan pada kita semua yang sedang berperan dalam dakwah Islam, muliakan Islam bukan mempermalukan, tinggikan Islam bukan merendahkan. Terkadang kita tidak sadar bermaksud memuliakan malah mempermalukan, bermaksud meningikan malah merendahkan. Islam adalah zat pewarna, ia dapat mewarnai jika dituliskan padanya, tetapi tidak semua bahan dapat diwarnai olehnya, tergantung dari bahan apa media itu dibuat. Setelah kita terwarnai dapatkah warna itu mewarnai yang lain? By the way kita ini termasuk bahan yang dapat diwarnai atau tidak? Wallaahu a’lam