Thursday, December 17, 2009

Menghitung Hari Detik Demi Detik (Renungan Lagi)


Menghitung Hari, Detik Demi Detik
(renungan lagi)

Merupakan sebuah keharusan bagi kita jika ingin meningkatkan kualitas hidup secara spiritual untuk melahirkan keshalehan sosial dengan senantiasa melakukan perhitungan terhadap diri. Menghitung hari, detik demi detik. Berhitung dalam arti melakukan koreksi terhadap perbuatan diri atau dalam bahasa popolernya Muhasabah.

Dalam catatan sejarah Islam misalnya, kita bisa melihat ungkapan dua orang sahabat Nabi tercinta, Umar dan Abu Bakar ash-shiddiq. Khalifah umar pernah berkata, “hasibu qobla an tuhasabu”, “hisablah dirimu sebelum kau dihisab”. Koreksi dirimu sebelum dikoreksi oleh Sang Maha Pengoreksi. Sebuah wanti-wantu agar kita sadar dan tidak termasuk dalam golongan manusia yang melihat tapi buta, seperti kata pribahasa populer yang pernah dinyanyikan oleh Bang Haji Oma Irama, “semut yang diseberang lautan jelas kelihatan, tapi gajah di pelupuk mata tiada kelihatan.” Sungguh keterlaluan, luar biasa kebodohan diri ini, semoga Allah menjauhkannya dari diri kita..

Dalam pidato kenegaraannya Abu Bakar ash-shiddiq ketika dilantik menjadi seorang khalifah, pernah mengucapkan untaian kalimat yang sangat indah dan penuh makna, ia berkata;“wahai manusia, aku telah diangkat menjadi pemimpinmu tapi aku bukanlah orang yang terbaik diantara kamu”. Sebuah kecerdasan dan kejujuran spiritual yang luar biasa, tentu ini lahir dari kesadaran diri, sehingga kebesaran yang disandangnya tak membuat dirinya merasa besar, kekuasaannya tak membuat dirinya menjadi penguasa. Kebesaran dan kekuasaan tak membuat mereka buta, sehingga amanah yang ada dipundaknya dijadikan legalitas untuk menzhalimi rakyat serta memperkaya diri sendiri, keluarga, kelompok, golongan atau partainya. Inilah yang terjadi hampir disemua sisi kehidupan para penguasa (bukan pemimpin) dan pejabat negeri.

Sebagai manusia apa daya dan kekuatan kita? Adakah materi dunia yang kita miliki saat ini mampu membahagiakan diri kita pada hidup yang sebenarnya nanti? Tapi sayang nafsu serakah terkadang menutupi kesadaran kita. Sehingga kita lupa, lalai. Ketika lupa/lalai menutupi secara permanen kesadaran spirtual, maka sengsaralah hidup ini, kini dan yang akan datang, naudzu billahi min dzalik. Hal ini terangkum dalam peringatan-Nya, ”khatamallaahu ’alaa quluubihim wa’alaa sam’ihim wa’alaa abbshaarihim, ghisyaawatun walahum a’dzaabun ’azhiim.” (QS. Al-baqarah (2): 7)

Maka menghitung hari, detik demi detik, dalam arti mengkoreksi diri, bermuhasabah, tujuannya adalah melihat borok-borok diri, diikuti dengan langkah-langkah pengobatan sampai borok-borok itu dapat disembuhkan. Sehingga diri ini tidak termasuk dalam golongan yang ”fii quluubihim maradhun fazaadahumullaahu maradhaa, walahum ’adzaabun aliimun bimaa kaanu yakdziibuun” (QS. Al-baqarah (2): 10) akan tetapi termasuk dalam golongan, qad aflahal mu’minuun ... (baca sampai ayat 11).”, sehingga diri kita menjadi bagian orang-orang yang diundang oleh-Nya, ”yaa ayyatuhannafsul muthmainnah irji’ii ilaa rabbiki raadhiyatammardiyyah, fadhkhulii fii ibaadii wadhkhulii jannatii, (al-Fajr (89); 27, 28, 29, 30) subhanallah, sungguh indah luar dan biasa, menjadi tamu kehormatan-Nya. Mau? Mari menghitung hari (diri). Hanya bisa jika ada kesadaran diri. Wallaahu a’lam.

Wednesday, December 2, 2009

Takut Kepada Allah


Takut Kepada Allah

Mungkin kita sering mengucapkan kalimat seperti judul di atas. Lalu apa pemahaman kita tentang maksud kalimat yang kita ucapkan itu? Takut seperti apa? Apakah seperti ketakutan melihat hantu, takut seperti orang yang sedang dikerjar kejar debt collector, khawatir, stress, depresi, takut disadap KPK karena perasaan bersalah telah melakukan korupsi? Atau takut seperti orang yang sedang berhadapan dengan anjing galak? atau takut mati?

Kata takut dalam kamus besar bahasa indonesia edisi online di katakan: ta•kut a 1 merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yg dianggap akan mendatangkan bencana: anjing ini jinak, engkau tidak perlu --; 2 takwa; segan dan hormat: hendaklah kita -- kpd Allah; 3 tidak berani (berbuat, menempuh, menderita, dsb): hari sudah malam, aku -- pulang sendiri; 4 gelisah; khawatir (kalau ...): ...”

Dari keempat arti kata yang terdapat dalam kamus tersebut hanya satu yang wakili, yaitu takut dalam pengertian takwa. Kata yang lebih mendekati tepat dari pengertian takwa adalah tunduk, patuh dan taat dengan dasar nalar, kesadaran, pengenalan dan cinta, bukan karena paksaan atau ketidak berdayaan. Takut dalam arti takwa akan melahirkan sebuah sikap/perilaku yang selaras, harmonis, ikhlas, dan rasa nyaman yang muncul secara otomaits inilah akhlakul karimah.

Jika kita merasakan rasa bahasanya, kata takut itu berhubungan dengan perasaan. Jika perasaan itu dasarnya adalah keinginan/hasrat, maka gambarannya seperti berada ditengah kebun/taman bunga di atas bukit yang berudara sejuk lagi segar. Hal seperti ini yang hadir dalam diri adalah kenikmatan dan kesenangan. Sebaliknya takut dasarnya adalah kekhawatiran, kecemasan, maka gambarannya seperti berada pada sebuah tebing yang curam dengan ketinggian 1000 meter di bawahnya terdapat sungai yang dangkal serta dihuni oleh buaya-buaya lapar dan liar. Tapi jika kenikmatan dan kesenangan yang kita rasakan tidak dibarengi oleh kesadaran, nalar dan pengenalan yang berujung cinta akan keterbatasan kenikmatan tersebut saat ini (di dunia), maka yang ada adalah ketakutan dan kekhawatiran akan kehilangan apa yang sedang dirasakannya saat itu. Maka ini tak ubahnya sebagaimana hal yang sebaliknya, yang akan berakhir dengan penderitaan, karena kekhawatiran dan ketakutan.

Jadi agar yang kita dapatkan dari rasa takut adalah kebahagiaan, maka takut itu harus didasari oleh kesadaran, nalar dan pengenalan yang berujung cinta. Maka ungkapan kata takut kepada Allah maksudnya adalah cinta kepada-Nya. Sebuah ketundukan, kepatuhan dan ketaatan yang hadir karena kesadaran, nalar dan pengenalan akan eksistensi-Nya. Wallaahu a’lam.