Wednesday, May 27, 2009

Pemimpin Itu Raja, Raja Itu Pemimpin

Pemimpin Itu Raja, Raja itu Pemimpin?

Dalam sejarah Islam, sejak Masa Rasulullah tercinta, Muhammad SAW, hingga ke empat sahabat terdekat yang menggantikan kepemimpinan setelahnya termasuk di dalamnya juga Khalifah Umar bin Abdul Aziz, bagi yang setuju atau mungkin saja ada yang lain menurut apa yang diyakini dalam anutan Islam yang berbeda, menjadi pemimpin itu menjadi pelayan. Pelayan Tuhan (menurut bahasa teman saya yang berbeda keyakinan) yang otomatis ia menjadi pelayan bagi umat-Nya. Kita lihat bagaimana Rasulullah tercinta yang menjadi pemimpin besar umat manusia pada saat itu, tak secuilpun harta yang ia tinggalkan. Semua yang dimilikinya di shadaqahkan untuk melayani umat-Nya.
Setalah beratus-ratus tahun sepeninggal diri dan sahabatnya yang shaleh, kepemimpinan Islam serangsur-angsur berubah menjadi kerajaan, kita tahukan raja itu, ia pemimpin masyarakat saat itu dan ia dilayani oleh masyarakatnya, karena dilayani maka kekayaannyapun berlimpah ruah ada dimana-mana. karena itu banyak yang ingin jadi raja, maka terpecahlah umat Islam dalam potongan-potongan raja-raja kecil yang tentu saja kekuatannya sangat tidak diperhitungkan. Maka hancurlah kekuatan yang luar biasa ditakuti dunia pada saat itu.

Melihat para pemimpin di Indonesia (sebenarnya bukan hanya pemimpin, ulama/cendikiawan/ ustadz-ustadz/kyai-kyai (mungkin juga pemimpin agama lain) di negeri inipun banyak yang dilayani umat/pengikutnya, bagi umat Islam, tentu saja para pewaris nabi itu jauh dari tuntunannya). Jadi kalau ummat/rakyat itu berantakan akhlaknya ya jangan disalahkan juga, karena apa? Karena tuntunannya tak mengikuti tuntutannya.

Kita kembali membicarakan judul di atas, jika pemimpin menjadi raja, maka yang kaya dan mampu menggapai serta menikmati kue negeri ini adalah mereka yang dekat dengan sang pemimpin tersebut, entah siapa dia. Bagaimana rakyatnya, yah ga usah jauh, jauh lihatlah negeri tercinta ini. Mungkinkah setelah pilpres tahun ini terpilih pemimpin yang mau menjadi pelayan? Atau sebaliknya? Kita tunggu aja ya? Btw siapa yang diantara mereka yang mau jadi pelayan? Kalo ada, insya Allah akan kupilih dia. Btw, mungkin tidak ya?

Tuesday, May 26, 2009

Bagai Belatung Mengungkap Buruknya Borok

Belatung Di Negeri Borok; Mengungkap Buruknya Borok
Untuk kita renungkan
By: Gunawan

Membaca ruang editorial Koran tempo pagi ini (senin, 25/05/09, agak telat memang postingnya), menyimak pula fenomena negeri tercinta ini, membuat diri merenung dan sejenak berfikir, akhirnya terungkaplah sebuah ide untuk mengungkapkan sebuah peribahasa dan sedikit uraian penjelasannya. Peribaha itu “bagai belatung mengungkap buruknya borok”, sebelumnya mohon maaf kalau ungkapan ini terkesan kasar, kotor atau jorok atau apalah, bahkan mungkin diantara kita ada yang tidak suka bahkan tersinggung, tapi jika pembaca cerdas, insya Allah tidak akan pernah tersingung, mengapa? Karena satu saat nanti, cepat atau lambat belatung akan menjadi bagian dari diri ini.

Kita semua tahu belatung? Ya, binatang yang satu ini hidup pada tempat-tempat yang bisa membusuk. Kita juga tahu kalau belatung tidak akan pernah hidup jika tidak ada media yang menyebabkan dirinya hidup. Lalu apa maksudnya? Begini, saya umpamakan belatung itu adalah diri kita, dan boroknya adalah negeri tercinta ini, tempat kita menikmati hidup. Tapi mengapa perumpamaannya harus belatung dan borok? Bukankah itu menjijikan dan menghinakan? Betul, keduanya memang menjijikan. Tapi keduanya hanya perumpamanan saja. Perumpamaan dari tingkah laku kita/perbuatan dan perkataan kita itu kata kuncinya. Sadarkah kita jika perkataan dan perbuatan yang pernah kita lakukan banyak yang sangat menjijikan dan menghinakan?

Bagai belatung mengungkap buruknya borok, fenomena ini terjadi di negeri ku tercinta, Indonesia. Panasnya suhu pilitik menjelang pilpres, karena tingkah polah para politisi dan para pendukung partai, tak kalah seru datang dari mereka yang mengajukan diri atau diajukan sebagai capres dan cawapres. Sangat menjijikan dan menghinakan. Betapa tidak? Lihatlah, mereka kini sedang berperang urat syaraf, saling melempar aib dan fitnah negeri ini/mengungkap borok negeri ini, menyalahkan satu sama lain sebagai penyebab semakin kronisnya borok negeri ini.

Kita semua tahu, siapa mereka, mereka yang kini tampil bukan orang baru, bukan generasi baru, bukan product baru. Mereka adalah pemain lama, bahkan mereka semua pernah menjadi presiden/wakil presiden dan pejabat penting di negeri ini, yang telah dengan senang hati bersama para kroninya menikmati bangkai negeri ini, aneh bukan? Mereka menampilkan kesan ingin cuci tangan, bersih dan tak pernah andil terhadap borok yang semakin kronis ini. Tak satupun diantara mereka yang mau mengakui kesalahan atas kebijakan yang telah mereka (executive dan legislative) hasilkan dan telah di “nikmati” pahitnya oleh rakyat/wong cilik, petani, buruh, nelayan, pedagang kaki dua dan kali lima, juga pemulung, tapi kini mereka sedang dielu-elukan untuk dinaikan derajatnya. Mengapa wong cilik? Bukan wong besar yang menjadi penikmat sebenarnya segala kebijakan pemerintah.

Meraka sadar, karena rakyat pada strata ciliklah yang menjadi penghuni terbesar negeri ini, mereka menjadi mayoritas juga akibat kebijakan-kebijakan yang telah pemerintah dan partnernya (DPR) hasilkan pada saat menjadi pejabat negeri ini, iya toch?. Lha kalau mau terpilih maka rayulah mereka, ambil hatinya, atau beli suaranya, sungguh hina dan menjijikan bukan?
Melihat fenomena seperti ini sayapun berfikir, kira-kira, kata-kata/istilah/peribahasa apa yang cocok untuk fenomena semacam ini? Akhirnya terungkaplah sebuah kalimat yang menurut saya cocok dan mewakili kondisi negeri tercintaku saat ini, “bagai belatung mengungkap buruknya borok”.

Sahabat, belatung hidup dari yang mati/bangkai/sampah organik, ia mengurai yang mati untuk hidup, ia hidup di tempat yang sudah mati, ia menghabiskan yang mati, hingga dan iapun akan mati, ketika yang mati tidak ada lagi.

Belatung, tak ada yang suka sama makhluk yang satu ini, tak ada yang mau diidentikan dengannya, jijik, tapi tanpa disadai banyak tingkah polah kita lebih rendah dari mereka. Bangkai, jijik, kotor, busuk, bau, dan mau muntah jika melihatnya, tapi banyak diantara kita yang hidup seperti memakan bangkai, mencari hidup pada bangkai, harta haram, makanan haram, minuman haram, atau memperolehnya dengan menghalalkan segala cara. Pernahkah kita menyadarinya?

Sahabat, semoga hidup kita selalu terlindungi dan diselamatkan oleh-Nya dan jauh dari perumpamanan tersebut di atas, amiin ya rabbal’alaamin, ya, mujiibassaailin. Wallaahu a’lam.

Wednesday, May 13, 2009

Apa Yang Kita Miliki?

Apa Yang Kita Miliki?
Sebuah Renungan Tentang Diri
Bye; Aa Gun


“dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Qs. An-Nahl (16) : 78)

Adakah diantara kita yang masih ingat saat-saat/proses kita dilahirkan (dikeluarkan) dari rahim (perut) ibu kita? Insya Allah kita tidak ingat itu, tapi kita sampai sekarang yakin kalau kita pernah dilahirkan. Kalaupun ada yang dapat menceritakan saat-saat menegangkan itu, pastilah didapat dari cerita orang tua. Sedangkan kita sendiri pada saat itu tak ingat/tak tahu itu seperti apa saat itu?. Sungguh luar biasa jika kemudian dalam al-Quran kita temukan pernyataan Allah SWT seperti ini, “dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun…” .Ayat ini mengandung isyarat/petunjuk yang mengingatkan kepada kita bahwa kita saat itu kita ini lemah, tak berdaya, terikat dan butuh bantuan dari yang lain. Itulah kita.

Proses terus berjalan, waktu berputar, detik berganti, menit berubah jam, jam menjadi hari, hari berlalu menjadi minggu, minggu bertambah menjadi bulan, akhirnya menjadi tahun. Selama kondisi yang baik/sehat/seimbang (atas izin-Nya, bagi yang percaya pada-Nya), bersamaan dengan waktu, kita terus berkembang sampai batas akhir yang telah ditentukan. Batas akhir, ketika tubuh ini sudah tak mampu lagi mengikuti bertambahnya waktu dan perubahan zaman. Mampukah kita menghalau itu semua? mampukah kita melawan itu semua? Akhirnya kita kembali seperti saat semula kita dilahirkan, tapi pada saat seperti itu tak ada orang yang mampu menolong kita, membantu kita. Jika saat dilahirkan keterikatan kita pada yang lain (mungkin) dapat menolong, tapi pada saat itu, no way, nothing, and no one who can help you!!!

Lalu siapa yang menolong? Bukan siapa, tapi apa yang menolong? Dalam ayat berikutnya Ia menjelaskan, “dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” Dalam kondisi yang normal, Ia menyempurnakan penciptaan-Nya yang perkembangannyapun mengikuti waktu, yaitu pendengaran, penglihatan, dan hati, tujuannya? agar kamu bersyukur”, sadarkah kita kalau fasilitas tersebut telah menjadikan kita seperti sekarang? Bersyukurkah kita? Subhanallaah. Jadi apa yang kita miliki?

Jika kita sadar, penolong kita adalah diri kita, diri yang telah dilengkapi oleh fasilitas kesadaran (keimanan) yaitu, pendengaran, penglihatan, dan hati (qalb). Dari fasilitas kesadaran itu (jika difungsikan, dioptimalkan) insya Allah akan lahir pengabdian (Ibadah) yang tulus, ikhlas atau dalam bahasa agama teman saya “pelayanan”. Ya, kita melayani Allah dengan menjaga, memelihara dan mengembangkan apa yang telah diciptakannya, karena semua yang ada ini diciptakan untuk kita, manusia. Betapa Allah cita kepada kita.

Lalu apa yang kita miliki? Yang kita miliki hanyalah buah manis yang menyegarkan dan menyehatkan dari realisasi iman (optimalisasi dan realisasi fungsi kesadaran) kita untuk mengabdi pada-Nya, melayani-Nya. Itulah yang akan menolong dan menemani kita, itulah milik kita, itulah kebahagiaan kita. Di dunia dan di alam setelahnya. Wallaahu a’lam.