Tuesday, May 26, 2009

Bagai Belatung Mengungkap Buruknya Borok

Belatung Di Negeri Borok; Mengungkap Buruknya Borok
Untuk kita renungkan
By: Gunawan

Membaca ruang editorial Koran tempo pagi ini (senin, 25/05/09, agak telat memang postingnya), menyimak pula fenomena negeri tercinta ini, membuat diri merenung dan sejenak berfikir, akhirnya terungkaplah sebuah ide untuk mengungkapkan sebuah peribahasa dan sedikit uraian penjelasannya. Peribaha itu “bagai belatung mengungkap buruknya borok”, sebelumnya mohon maaf kalau ungkapan ini terkesan kasar, kotor atau jorok atau apalah, bahkan mungkin diantara kita ada yang tidak suka bahkan tersinggung, tapi jika pembaca cerdas, insya Allah tidak akan pernah tersingung, mengapa? Karena satu saat nanti, cepat atau lambat belatung akan menjadi bagian dari diri ini.

Kita semua tahu belatung? Ya, binatang yang satu ini hidup pada tempat-tempat yang bisa membusuk. Kita juga tahu kalau belatung tidak akan pernah hidup jika tidak ada media yang menyebabkan dirinya hidup. Lalu apa maksudnya? Begini, saya umpamakan belatung itu adalah diri kita, dan boroknya adalah negeri tercinta ini, tempat kita menikmati hidup. Tapi mengapa perumpamaannya harus belatung dan borok? Bukankah itu menjijikan dan menghinakan? Betul, keduanya memang menjijikan. Tapi keduanya hanya perumpamanan saja. Perumpamaan dari tingkah laku kita/perbuatan dan perkataan kita itu kata kuncinya. Sadarkah kita jika perkataan dan perbuatan yang pernah kita lakukan banyak yang sangat menjijikan dan menghinakan?

Bagai belatung mengungkap buruknya borok, fenomena ini terjadi di negeri ku tercinta, Indonesia. Panasnya suhu pilitik menjelang pilpres, karena tingkah polah para politisi dan para pendukung partai, tak kalah seru datang dari mereka yang mengajukan diri atau diajukan sebagai capres dan cawapres. Sangat menjijikan dan menghinakan. Betapa tidak? Lihatlah, mereka kini sedang berperang urat syaraf, saling melempar aib dan fitnah negeri ini/mengungkap borok negeri ini, menyalahkan satu sama lain sebagai penyebab semakin kronisnya borok negeri ini.

Kita semua tahu, siapa mereka, mereka yang kini tampil bukan orang baru, bukan generasi baru, bukan product baru. Mereka adalah pemain lama, bahkan mereka semua pernah menjadi presiden/wakil presiden dan pejabat penting di negeri ini, yang telah dengan senang hati bersama para kroninya menikmati bangkai negeri ini, aneh bukan? Mereka menampilkan kesan ingin cuci tangan, bersih dan tak pernah andil terhadap borok yang semakin kronis ini. Tak satupun diantara mereka yang mau mengakui kesalahan atas kebijakan yang telah mereka (executive dan legislative) hasilkan dan telah di “nikmati” pahitnya oleh rakyat/wong cilik, petani, buruh, nelayan, pedagang kaki dua dan kali lima, juga pemulung, tapi kini mereka sedang dielu-elukan untuk dinaikan derajatnya. Mengapa wong cilik? Bukan wong besar yang menjadi penikmat sebenarnya segala kebijakan pemerintah.

Meraka sadar, karena rakyat pada strata ciliklah yang menjadi penghuni terbesar negeri ini, mereka menjadi mayoritas juga akibat kebijakan-kebijakan yang telah pemerintah dan partnernya (DPR) hasilkan pada saat menjadi pejabat negeri ini, iya toch?. Lha kalau mau terpilih maka rayulah mereka, ambil hatinya, atau beli suaranya, sungguh hina dan menjijikan bukan?
Melihat fenomena seperti ini sayapun berfikir, kira-kira, kata-kata/istilah/peribahasa apa yang cocok untuk fenomena semacam ini? Akhirnya terungkaplah sebuah kalimat yang menurut saya cocok dan mewakili kondisi negeri tercintaku saat ini, “bagai belatung mengungkap buruknya borok”.

Sahabat, belatung hidup dari yang mati/bangkai/sampah organik, ia mengurai yang mati untuk hidup, ia hidup di tempat yang sudah mati, ia menghabiskan yang mati, hingga dan iapun akan mati, ketika yang mati tidak ada lagi.

Belatung, tak ada yang suka sama makhluk yang satu ini, tak ada yang mau diidentikan dengannya, jijik, tapi tanpa disadai banyak tingkah polah kita lebih rendah dari mereka. Bangkai, jijik, kotor, busuk, bau, dan mau muntah jika melihatnya, tapi banyak diantara kita yang hidup seperti memakan bangkai, mencari hidup pada bangkai, harta haram, makanan haram, minuman haram, atau memperolehnya dengan menghalalkan segala cara. Pernahkah kita menyadarinya?

Sahabat, semoga hidup kita selalu terlindungi dan diselamatkan oleh-Nya dan jauh dari perumpamanan tersebut di atas, amiin ya rabbal’alaamin, ya, mujiibassaailin. Wallaahu a’lam.

No comments: