Monday, November 1, 2010

Berkurban; Realisasi Ibadah Ritual dan Sosial

Berkurban; Realisasi Ibadah Ritual dan Sosial

Innalillaahi wainna ilaihi raaji’uun. Musibah/bencana beruntun menimpa negeri tercinta ini. Dari musibah yang disebabkan human error atau human yang error, banjir bandang dan tanah longsor di wasior papua, tsunami yang telah meluluh lantakan mentawai yang tak jauh waktunya dengan meletusnya dengan dahsyat merapi di jogjakarta, pohon-pohon tumbang karena hujan yang disertai angin kencang yang menerpa beberapa daerah seakan meniup tanpa habis nafas, banjir local di Jakarta dan sekitarnya, semua tentu membawa luka yang mendalam bagi mereka yang mengalaminya. Lalu bagaimana kita? Atau para pejabat Negara (DPR) yang mulutnya dengan enteng menggangap sebagai resiko, sampai prostes perjalanan keluar negeri oleh rakyat yang ditanggapi dengan dingin dan tak berempati, baginya jalan-jalan keluar negeri dengan alasan studi banding yang tidak jelas apa yang di bandingkan, adalah kewajiban dan hak mereka yang tak dapat diganggu gugat, sungguh sebuah pemandangan yang kontras, penderitaan rakyat versus foya-foya mereka yang seakan telah hilang nuraninya. Naudzubillaahi min dzalik.

Demikian sekelumit nasib rakyat bangsa ini yang tak habis dirundung derita. Alam seakan murka, Dia (Allah) telah mengerahkan kekuatan dan kekuasaan-Nya ingin menegur dan mengingatkan juga menggugah kesadaran mereka-mereka yang masih punya nurani. Menegur dan mengingatkan mereka-mereka yang telah tergerus nuraninya oleh kilauan materi dan kekuasaan harta. Menggugah hati mereka yang masih sehat nalar dan hatinya untuk melakukan aksi solidaritas dengan bersama-sama meringankan penderitaan sesama ciptaan-Nya sungguh suatu emas yang sangat berharga, dan air yang menyejukan di tengah kehausan karena panasnya padang pasir.

Sungguh dan ini memang bukan sebuah kebetulan. Bagi kita umat muslim khususnya Indonesia yang kini memiliki ratusan ribu penduduknya sedang menuju tanah suci mekah al-Mukarramah dan mandinah al-munawarah untuk menunaikan ibadah haji dan umrah sekaligus melengkapi rukun islam yang ke-lima. Berkait erat dengan pelaksanaan ibadah haji ummat Islam di dunia diberikan sebuah pelajaran besar dan sangat berharga yaitu berkurban.

Berkurban secara syar’I adalah mengikuti jejak Nabi Ibrahim as yang sangat dianjurkan oleh baginda tercinta Muhammad SAW. Agar setiap ummatnya yang mampu, berkecukupan secara materi dengan tulus ikhlas sebagai  mana Nabi Ibrahim as, mencontohkan sikap cinta dan ikhlasnya atas nikmat Allah yang dimiliki untuk dikorbankan. Dalam pesan cinta-Nya Allah SWT berfirman:

1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah[1605].
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus[1606].

[1605] Yang dimaksud berkorban di sini ialah menyembelih hewan Qurban dan mensyukuri nikmat Allah.[1606] Maksudnya terputus di sini ialah terputus dari rahmat Allah.

Secara syar’I, sekali lagi saya katakan dan berdasarkan pesan cinta-Nya kepada kita semua, berkurban adalah memotong hewan kurban dan dagingnya diberikan kepada mereka-mereka yang membutuhkannya. Tak terlepas dari itu berdasarkan makna secara umum dan khusus sebagai mana yang kita pahami. Berkurban mempunyai makna yang sangat luar biasa, sebagai mana pernah di contohkan oleh nabi Ibrahim as. Karena pesan Tuhan ia bersedia dengan tulus dan ikhlas (meski dalam cerita sejarah sempat terjadi keraguan karena bisikan Iblis, laknatullahi alaihi) harta tercinta satu-satunya yang beliau idam-idamkan sejak puluhan tahun, Ismail, putera tercintanya harus beliau korbankan, dalam arti disembelih, sebagai mana banyak keyakinan masyarakat zaman itu. Allah, hanya memberikan ujian iman kepada Ibrahim, ia tidak menyembelih Ismail, melainkan seekor domba, Allah yang menggantinya, karena dalam Islam tidak mengenal persembahan darah manusia, atau hewan, Allah berfirman:


“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”

Untuk masa kini hendaknya kita tak hanya sekedar ritual mengikuti ajaran dalam sejarah, tetapi hendaknya kita mampu memaknai dan merealisasikan makna berkurban dalam arti yang lebih luas, yang berhubungan erat dengan kehidupan social, relationship, friendship, brother ship,  sesama ummat manusia, sebuah pesan yang mulia dan merupakan bukti cinta-Nya kepada kita, mengingatkan dengan berbagai macam cara, dan kini salah satunya dengan  bencana alam. Sungguh penulis yakin sekali tidak ada manusia yang mau menerima penderitan semacam itu. Tapi, jika kita mau memaknai hidup ini dari pesan yang pernah disampaikan-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 156:

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".

Innalillaahi wainna ilaihi raaji’uun, semua milik Allah, dan semua akan kembali pada-Nya, jika kita pahami ayat ini sebenarnya kita ini nothing, lalu Allah beri something, karena something itulah kita bisa mampu mencipta dan berkreasi, anything dan everything, tapi tetap, setelah itu kita kembali lagi, nothing. Namun apakah setelah kita dibekali something saat hadir di dunia lalu kita kembali lagi pada-Nya dalam kondisi nothing? Tidak, jangan sampai itu terjadi, sungguh kita termasuk makhluk-Nya yang merugi jika saat kembali pada-Nya dalam keadaan nothing.

Nah agar kita tidak kembali nothing saat  dipanggil menghadap-Nya nanti, maka something ini harus kita maksimalkan sehingga membuahkan anything dan everything yang sesuai dengan apa maksud-Nya Dia mencipta kita yaitu:


“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Berkurban, sebagaimana yang dicontohkan baginda Ibrahim as. merupakan satu bentuk ibadah ritual kepada-Nya, ibadah yang di dasarkan pada kemurnian keyakinan (aqidah) dan ketaatan (cinta) pada-Nya. Sebagai mana Ibrahim, cintanya kepada Tuhan melebihi cinta dari apa yang ia miliki (lalu bangaimana dengan kita?), pemahamannya akan makna kalimat Innalillaahi wainna ilaihi raaji’uun, telah begitu mengakar dalam dirinya, karena ia tahu dirinya nothing tapi ia tidak ingin tetap nothing, ia harus anything dan everything, maka pengurbanan dalam arti “melayani Tuhan” dalam bahasa keyakinan teman saya. Melayani Tuhan dengan melayani hamba-hamba-Nya yang membutuhkan pelayanan. Bukan melayani Tuhan dalam arti yang sebenarnya. Karena Allah tak butuh manusia, dan Dia tidak butuh pelayanan manusia, Dia tetap Tuhan walau tanpa manusia.

Yang Dia inginkan dari manusia kepada manusia yang lainnya seperti; manusia yang kuat berkurban untuk yang lemah, yang kaya menolong yang miskin, yang pintar mengajarkan yang belum pintar, yang cerdas memberi contoh yang baik, yang tidak tertimpa bencana/musibah menolong saudaranya yang terkena musibah, selain kepada sesama manusia Dia juga meminta manusia menjaga alam sekitar/lingkungan tempatnya hidup. Itulah bentuk pelayanan untuk-Nya.

Maka saat inilah waktu yang tepat bagi kita untuk berkorban bukan, hanya berkurban secara syar’I tetapi secara tapi mampu berkurban secara maknawi, berkurban untuk meringkankan beban dan penderitaan saudara-saudara kita yang membutuhkan, dalam bentuk tenaga, harta, pemikiran bahkan walau hanya dengan doa. Berkurban sebagai realisai iman kepada-Nya. Wallaahu a’lam.






No comments: