Thursday, March 5, 2009

Membudayakan Korupsi

Membudayakan Korupsi
Oleh: Aa Gun

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Qs. Al-A’raaf (7): 96)

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Qs. Al-Baqarah (2): 188)

Dalam sebuah hadits yang entah karena kesahihannya atau boleh dikata mungkin sengaja untuk dilupakan, dihilangkan, jangan terpublikasi, ga perlu digembar gemborkan, begini kalau tidak salah “arrasyi wal murtasyi finnaar” terjemahnnya “Orang yang menyogok dan yang disogok keduanya masuk neraka” begitu kira-kira, dari dua ayat dan satu kata hikmah saya mencoba merefleksikannya, selamat menikmati

Sekedar Refleksi Diri

Semua nyata bukan omong kosong, semua tahu, mungkin dengan membaca berita, semua paham mungkin pernah mengalami dan melakukan hal ini, membudayakan korupsi. Sekedar contoh misalnya kita pernah ditangkap polisi karena melakukan kesalahan disengaja atau tidak? atau polisi itu yang cari-cari kesalahan, karena satu dan lain hal terjadilah kesepakatan antara kita dan polisi, damai, mungkin saja si oknum polisi itu hanya mendapatkan uang lima ribu rupiah. Harga diri dan aturan begitu murah ya?

Sogok menyogok, pelicin, uang lelah, “hadiah”, ungkapapan terimakasih, damai atau bahasa apalah yang sebenarnya adalah ungkapan dari ketidak mampuan kita untuk menghindarinya karena “ketika uang ada dan berbicara” hasilnya jadi beda. Atau karena yah beginilah sistemnya, kita tidak bisa menghindarinya. Apa iya? Apa bukan kita malah melanggengkannya?

Kita pernah mengurus SIM, entah sekarang, kalo dulu, ada calo SIM, atau penjual jasa pembuatan SIM misalnya, mereka sangat dibutuhkan karena kesibukan yang kita miliki, dengan membayar lebih buat oknum tertentu, kita bisa dapatkan SIM itu, jalur cepat, instan bo, orang kita seneng sama yang instan-instan. Kita mau membuat KTP Jakarta, biar dianggap sebagai orang Jakarta misalnya, atau biar cari kerja mudah, karena belum atau tidak memenuhi syarat, kita bisa membayar oknum tertentu agar bisa mempunyai KTP berlogo monas (itu jaman dulu, apa sekarang logonya masih monas?) dengan membayar uang yang tidak wajar. Kurang ajar ya? Ya karena ga pernah belajar kali?

Kita ingin mengurus sesuatu pada instansi pemerintah misalnya, nah ini karena yang instan tadi, agar cepat selesai, disebabkan birorasi yang cukup njlimet juga, kita bisa membayar oknum yang bisa memfasilitasi agar segala urusan cepat selesai atau barang bisa keluar pelabuhan atau surat perizinan mendirikan sesuatu bisa lancar.

Kita ingin mendapatkan tunjangan kesejahteraan guru, tapi karena kuota terbatas, akhirnya masing-masing sekolah ingin semua gurunya dapat (ya wajar dong) tapi sekali lagi kita bermasalah dengan kuota, nah agar semua bisa lancar kita bisa memberikan sesuatu apakah melalui perjanian atau tidak, katakanlah uang pelicin atau hadiah sebagai ungkapan terimakasih buat jasa sang kepala dinas, kepala suku, kepala seksi atau siapalah oknum-oknum yang “lapar” (dipikir-pikir merekakan dibayar memang untuk itu? untuk melayani) tapi yakinlah semua akan beres-beres saja. Luar biasa sebuah kebiasaan yang tak pernah kita sadari. Instutusi pendidikan saja sudah tidak mendidik, yah beginilah jadinya. Di gugu dan ditiru (guru) tak mampu berbuat apa, kasih saja, rela tidak rela, meskipun harus mengadaikan keyakinan.

Bagi yang sedang belajar, biar nilai kita bagus berilah sang guru/wali kelas hadiah setiap pemberian raport, setiap hari raya atau berbaik hatilah padanya, yakinlah nilai anda tidak akan jelek, minimal pas-pasan gitu loch. Kita mau nikah, nah ditempat pengurusan nikah-menikah ini walau berbau agama hal-hal yang menyimpang dan dilarang tapi bagi oknum yang “lapar” bisa halal. Kita yang sedang mengejar jabatan berdasarkan jenjang pendidikan jaman sekarang tanpa report-report asalkan punya uang untuk membayar lembaga-lembaga pendidikan “nakal” insya Allah gelar aspal S1, S2, S3 bahkan mungkin S (ampe) T (elerpun) anda bisa raih. Agar jalur angkot kita lancar dan tempat ngetem yang sebenarnya terlarang bisa aman, gampang itu, siapakan uang untuk preman dan oknum polisi yang lapar, beres coy. Macet-lagi-macet lagi.

Ada lagi nih, kita ingin jadi guru negeri (sekarang lagi jadi inceran banyak sarjana, karena gajinya cukup lumayan, bo) ikuti test, trus siap-siap dateng tawaran masuk dengan imbalan uang puluhan juta. Atau ingin jadi pegawai negeri di Depag, atau departemen lainya, punya oknum orang dalem, punya uang, bisa dipermudah. Atau kita punya orang tua pejabat teras, kita bisa dititipin tuh, atau warisan lah, tenang aja. Mau jadi anggota DPR, punya uang ga? Harus, Kalo punya beli partai, atau bikin partai, tapi untuk jaman sekarang yang katanya berdasarkan suara terbanyak, agak sulit sih, tapi apa yang sulit kalau uang berbicara, he…he…he….

Masih banyak kata-kata lain untuk mempermudah jalan yang sebenarnya tak mampu untuk dilalui, tapi dengan uang dan beberapa kenalan, atau beking atau jabatan orang tua, teman, saudara, semua bisa menjadi lancar. Semua orang tahu dan mungkin diantara kita pernah melakukannya, bahkan mungkin mereka yang sering demo antikorupsi, diantara orang yang katanya beragama saja bisa menghalalkan hal ini, sehingga menjadi tradisi yang sebenarnya merusak tatanan kehidupan masyarakat dan ajaran agama.

Kita tahu, kita paham, kita sering mengomentari dan bahkan kita mungkin mengajarkan kepada murid untuk tidak melakukan korupsi, tapi kenyataan tanpa sadar kita telah membudayakan korups. Jangan sok sucilah, begitu cibiran biasanya, jangan sok bermorallah, jangan sok beragamalah. Yah itulah Indonesia negeriku tercinta yang terkorupsi.

Tapi tidak semua orang lemah iman dan pendiriannya masih ada diantara kita yang masih mau memperbaiki diri dengan tidak membiasakan tradisi yang hanya memperkaya diri oknum tertentu dan sendiri, seperti cerita yang sangat menggugah dari seorang teman seperjuangan yang disekolah. Ia menceritakan tentang ayahnya yang bekerja di sebuah departemen pemerintah yang “berbau” agama. Katanya dulu ortunya ingin sekali berada pada bagian pengawas (kalau tidak salah), karena tempat ini luar biasa “basah” katanya. Tapi ketika sang bapak menjadi pengawas benarlah adanya, dari berbagai jalan mereka yang berurusan dengan ortunya ingin memberikan “hadiah” karena atas bantuannya padahal memang itulah tugasnya, digaji negara ya untuk itu melayani. Tapi sang bapak menolak, dan hal ini senantiasa membuat heran para pemberi hadiah, kenapa? Karena memberi hadiah buat “sang pengawas itu hal yang lumrah”, namanya juga hadiah. Tapi untuk bapak yang satu ini tidak, segala bentuk hadiah yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja ditolaknya, begitu kira-kira. Sehingga nilai pluspun diraih sang bapak dari setiap orang yang berususan dengannya. Sebaliknya perlakuan berbeda didapati dari teman seprofesinya pada departemen yang sama, ia dicibir dan di jauhi, tapi sang bapak ini tetap teguh pada pendiriannya. Luar biasa! tapi kini ia sudah tiada, ketika mendengar cerita sang teman sebenarnya aku ingin menitikan air mata, andai negeri ini dihuni oleh kebanyakan orang yang seperti mereka? tentu berbeda ceritanya. Sambil mendengar ceritanya aku berdoa semoga ia husnul khatimah dan ia bahagia di alam yang telah dijanjikan-Nya, amiin.

Begitulah Indonesia dan korupsi. Korupsi memang telah membudaya, ia akan tetap ada danm eksis menggerogoti kekayaan negara dan harga diri, karena ia ada pada setiap sisi dan level, dari level yang rendah sampai yang tinggi, dari rakyat jelata sampai pejabat negara. Banyak diantara kita yang tidak peduli, siapapun dia, katanya sih ga mau nyusahin hidup yang sudah susah ini. Maaf bukan sok suci, sok moralis atau apalah, tapi tapi jika kita berani karena kita masih punya hati nurani dan tetap berpegang pada keyakinan pada kebenaran yang kita miliki dari ilahi minimal untuk diri sendiri, insya Allah budaya itu akan segera menjauhi negeri kita tercinta ini, Indonesia negeri tercinta jadi lebih Islami. Wallaahu a’lam

No comments: