Tuesday, March 31, 2009

Belajar Islam Ko mahal?

Belajar Islam Ko Mahal?

Oleh; Gunawan

Sebagai muslim pernahkah terbesit pertanyaan mengapa dakwah Islam hanya menyentuh level-level tertentu saja? yaitu mereka yang mampu mengakses Islam karena memiliki fasilitas dan akses yang memadai. Sedang mereka yang berada di jalur yang termajinalkan oleh berbagai kebijakan serta tak memiliki fasilitas dan akses juga termarjinalkan dalam memahami agama. Agama menjadi penting dalam catatan pada kartu identitas yang mungkin akan dibutuhkan saat hanya pernikahan atau administrasi dunia lainnya. Agama juga hanya menjadi bagian dari ritual saat kematian, “syukuran” atau ritual-ritual yang bercampur budaya lainnya. Agama tak menjadi apa yang pertama kali di dengungkan dan disebarkan baginda tercinta dan sahabat shalihin yang dibuka untuk siapa saja, dan jika kita melihat sisi awal yang pernah dilakukan Nabi tercinta adalah pembebasan terhadap kaum yang terpinggirkan, yaitu mereka yang lemah dan tak berdaya karena kungkungan para pemimpin dan saudagar kaya yang sangat memegang teguh tradisi nenek moyang dan derajat socialnya, sehingga ketika Islam datang dan menyentuh hati orang-orang yang sadar dan mau berfikir, tak patah arang para saudagar menentang keras dan melakukan penyiksaaan secara kejam serta memboikot ekonomi para kaum marjinal yang telah tercerahkan.

Itulah cuplikan ringkas kenyataan yang ada ketika pertama kali Islam dikenalkan oleh Rasulullah tercinta. Islam disebarkan untuk mereka yang ingin mendapatkan hidayah Allah tanpa harus mengeluarkan uang. Mereka pada pejuang Islam malah mengeluarkan harta dan mengorbankan jiwa untuk tegaknya Islam. Tapi kini, jauh panggang dari api, orang yang ingin membaca belajar Islam, membaca al-Quran harus membayar, orang yang ingin memahami Islam harus merogoh kocek yang tak sedikit. Lain hal jika jika mereka mampu, tak masalah. Mereka bisa ikut training spiritual, mereka dapat mengikuti training shalat khusyu dan training-training atau mereka bisa membayar “kiayi/ustadz” untuk les agama.

Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak mampu? Tentu saja mereka tidak bisa memiliki pencerahan spiritual karena tak mampu mengikuti training spiritual ataupun shalat khusyu dengan biaya yang mahal dalam ukuran mereka, lagi pula, mungkin mereka tak mau mengikuti dengan alasan siapa nanti yang memberi makan keluarga mereka, begitu kira-kira. Demikian pula dengan kitab suci mereka, al-Quran, karena tak mampu membayar ustadz, atau memasukannya pada sekolah agama (madrasah), butalah mereka terhadap hak yang harus dimilikinya, maka jadilah agama sekedar catatan dalam tanda pengenal. Hal yang sama juga dialami oleh mereka yang mampu membayar untuk belajar agama. Agama hanya sekedar untuk diketahui. Sedang nilai-nilai luhur ajarannya hilang tak berbekas. Ini terbukti dari kondisi umat yang jauh dari nilai-nilai luhur sebagaimana telah dicontohkan Rasul tercinta, teladan hidup kita.

Dari fenomena tersebut tak pernahkah kita berfikir pasti ada yang salah dalam “dakwah” agama ini? Jumlahnya mayoritas di Indonesia, kyiai dan ustadznya banyak, bahkan sampai dilomba-lombakan layaknya Indonesian idol, KDI dan lainnya, punya potensi besar dalam masalah keuangan dari zakat, infaq dan shadaqah, sehingga banyak bermunculan lembaga-lembaga zakat dari baik tingkat local (nasjid-masjid), dan Negara dari kelurahan, kecamatan, sampai provinsi bahkan sampai tingkat nasional, ada di departemen agama, MUI, adapula organisasi keagamaan atau NGO, partai dan lain-lain. Andai semua yang jika disatukan saya yakin bisa mengatasi kebodohan beragama yang intinya pada kehidupan, tapi apa nyata? Innalillahi wa inna ilaihi rajiiun.

Begitulah Islam kini, mau belajar dan memahaminya mahal sekali harganya, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya. Islam telah menjadi produk yang bisa di perjual belikan, layakkah kalau al-Quran atau hadits itu diperdagangkan? Pernahkah kita pertanya? Inikah Islam yang didakwahkan Rasul tercinta?

No comments: