Thursday, March 24, 2011

Merayakan Maulid Nabi; Bolehkah?


Merayakan Maulid Nabi, Bolehkah?


“ dan Tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa: 107)
Ummat Islam Indonesia telah menjadikan hari kelahiran/mauled Nabi Muhammad SAW yang bertepatan dengan tanggal perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal sebagai salah satu hari besar nasional dan menjadikan hari itu sebagai hari libur nasional. Acara ini dirayakan tidak hanya dalam lingkup rt/rw, tetapi telah diperingati secara nasional, kenegaraan. Lalu bagaimana sebenarnya pandangan ulama mengenai hal ini?  Lalu bagaimana kita bersikap? Berikut beberapa pandangan ulama yang pro (membolehkan) dan yang kontra (menyatakan bid’ah dan haram):
1.      Golongan ulama yang melarang dan mengharamkan memperingati kelahiran Nabi Muhammad berpendapat bahwa itu adalah hal baru dan berhubungan dengan ibadah, maka jika dilakukan hal tersebut masuk pada kategori bid’ah, nabi Muhammad tidak pernah melakukannya, berarti tidak ada contoh tidak ada dasar syar’inya jadi hukumnya haram[1].
2.      Sedang menurut yang mendukung perayaan mauled Nabi ini berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah ibadah mahdhah (yang utama) tetapi perayaan ini berhubungan dengan kegiatan social kemasyarakatan atau muamalah[2]. Mereka melogikannya seperti sebuah buku sirah nabi Muhammad SAW. Nabi tidak pernah memerintahkan untuk membuat buku sejarah hidupnya, bagaimana dengan yang membuatnya? Apakah telah melakukan bid’ah? Demikian juga mereka yang memiliki koleksi buku-buku tersebut. Dengan buku-buku tersbebut orang mengenal sosok Nabi dan akhlaknya, demikian juga dengan perayaan tersebut.
Mencoba memberikan analisa terhadap kedua pendapat tersebut. Saya sangat setuju dengan alasan yang dikemukakan ulama yang mengatakan bahwa peringatan itu adalah haram dan bid’ah. Pendapat pertama dasar pemikirannya adalah tidak adanya teks tertulis (sunnah) dari Nabi yang berupa argumentasi yang membenarkan, membolehkan, membiarkan, karena pada masanya tidak mengenal perayaan-perayaan hari lahir (ultah bahasa popnya). Karena tidak ada landasan hukum (dalil syar’i) plus analogi kekhawatiran akan terjadi pemujian yang berlebihan terhadap Nabi, atau bahkan penuhanan karen ini merupakan perbuatan syirik, menurut saya sangat tepat jika mereka berpendapat demikian.
Dan saya juga setuju dengan pendapat yang membolehkan memperingatinya, tapi dengan catatan. Jadi kalau begitu plin-plan dong? Kan harus tegas dalam beragama, begitu kira-kira pertanyaan yang akan muncul. Menurut saya pendapat kedua landasan berfikirnya adalah tataran kontekstual, social dan makna juga manfaat dari perayaan itu. Logika yang dikemukakan berkait tuduhan bid’ah mereka kaitkan dengan penulisan buku sejarah/sirah Nabi Muhammad yang memang tidak ada perintah maupun larangan atau tradisi nabi menulis perjalanan hidupnya. Penulisan sejarah Nabi tentu sangat bermanfaat bagi pengetahuan ummat terhadap sosok Nabi Muhammad, akhlak dan keluarga serta ajaran dari Tuhannya.
Lalu saudara pilih yang mana? Saudara telah mampu berfikir dan menentukan keputusan, sedang saya pilih yang mana? saya memilih pernyataan yang membolekan merayakan mauled nabi dengan catatan, perayaan tersebut diisi dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang membangun semangat pemahaman atas nilai-nilai perjuangan Nabi Muhammad dan para sahabatnya atau kegiatan-kegiatan social yang memberi manfaat bagi kehidupan. Tidak seperti yang banyak dilakukan hingga saat ini di daerah-daerah tertentu di Indonesia yang memperingati kegiatan mauled Nabi dengan kegiatan-kegiatan yang menampakan kemubaziran, hura-hura, bahkan mengarah pada perilaku syirik.
Memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW jika memang kita setuju, yang terpenting adalah mempelajari dan memahami nilai-nilai perjuangan, semangat, ibadah/pengabdian kepada-Nya sekaligus menginstrospeksi / muhasabah terhadap diri apakah perilaku kita berusaha mengarah kepada apa-apa yang diajarkannya atau malah sebaliknya. Bukan malah mengaitkannya dengan berbagai macam tradisi masa lalu yang kerap mengarah kepada perbuatan mubazir dan syirik, tentu hal ini sangat disayangkan karena telah menyimpang dari tujuan awal diadakannya mauled.
Rasulullah SAW tercinta adalah contoh teladan  bagi kehidupan, diutus untuk perbaikan kehidupan manusia dalam segala hal dengan dasar penuhanan dan ketauhidan kepada Allah SWT. Dia sang pembebas, reformis sejati bagi tatanan kehidupan manusia, yang beliau ajarkan tidak sekedar untuk di ketahui, tetapi diaplikasikan dalam kehidupan itulah letak kesempurnaanya. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Qs. Al-Ahzaab (33):21).”
            Saya mencoba memahami esensi/tujuan dari memperingati lahirnya Nabi adalah untuk mengingat kembali, mempelajari, memahami, memaknai, dan mempraktekan ajaran Tuhan dalam kehidupan yang telah disampaikan melalui lisan dan kerja keras beliau dan para sahabat tercintanya, juga para pengikut setelahnya, penyimpangan dengan berbagai macam tradisi yang jelas tidak bersumber dari ajaran Islam berakibat mengaburkan esensi/tujuan peringatan itu sendiri.
            Memperdebatkan boleh atau tidaknya memperingati kelahirannya tentu kurang bermakna bagi kehidupan, masing-masing memiliki argumentasi yang sama-sama kuat. Bagi kita orang awwan bisa berfikir dan memilih menurut apa yang kita pahami. Jika anda sepakat dengan yang mengharamkan tak perlu kita mencaci, tapi berikan pemahaman. Jika kita setuju dengan yang merayakan introspeksilah diri apakah ada usaha mengikuti jejak langkah kaki beliau yang tercinta. Segala bentuk perbuatan, acara, ceremony yang jauh dari makna dan ajaran Nabi Muhammad SAW saat kita merayakan itulah yang harus kita jauhi karena itu mencederai ketauhidan itu sendiri. Wallaahu a’lam.



[1] http://www.islamhouse.com/p/72553
[2]http://blog.re.or.id/tentang-maulid-nabi-muhammad-saw.htm

No comments: